Jejak Kelam Bea Cukai RI: Jadi Sarang Pungli Hingga Dibekukan Soeharto

Jejak Kelam Bea Cukai RI: Jadi Sarang Pungli Hingga Dibekukan Soeharto



Jejak kelam yang pernah menghantui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia mungkin tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang. Institusi ini, yang berperan penting dalam pengaturan dan pengawasan masuk dan keluarnya barang di Indonesia, pernah mengalami periode suram penuh dengan pungutan liar (pungli) yang memicu Presiden Soeharto untuk mengambil tindakan drastis dengan membekukan operasionalnya. Mari kita ulas lebih dalam mengenai kronologi kejadian tersebut.

Awal Mula Pembekuan

Keputusan untuk membekukan Bea Cukai diambil pada tahun 1983, ketika banyak pengusaha, termasuk dari Jepang, mengeluhkan prosedur yang berbelit-belit dan seringkali berujung pada pungutan liar. Komplain ini sampai ke telinga Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan cepat, ia memanggil Radius Prawiro, Menteri Keuangan saat itu, untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil.

Diskusi Penting

Soeharto tidak berhenti di Radius Prawiro saja; ia juga memanggil Dr. Saleh Afif, Menteri Penertiban Aparatur Negara, Rahmat Saleh, Menteri Perdagangan, dan Gandi, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Hasil diskusi ini memunculkan dua opsi: pembubaran atau reorganisasi. Sebelum keputusan dibuat, tim dari BPKP ditugaskan untuk menyelidiki dan mengaudit proses kerja Bea Cukai.

Temuan BPKP

Tim BPKP menemukan bahwa untuk mengurus izin ekspor dan impor, dokumen harus melewati 42 meja yang sangat memperlambat proses dan membuka peluang untuk pungli. Setelah audit BPKP, jumlah meja ini berhasil dikurangi menjadi 21 meja, tetapi ini masih belum cukup untuk mengeliminasi korupsi secara menyeluruh.

Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985

Berlandaskan hasil penilaian BPKP, Soeharto merilis Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985, yang salah satu isinya adalah “merumahkan sebagian besar pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.” Operasi bea cukai kemudian dipercayakan pada perusahaan Swiss, Société Générale de Surveillance (SGS), dan PT Surveyor Indonesia, sebuah langkah yang pada saat itu dianggap perlu untuk membersihkan institusi dari korupsi.

Kembalinya Wewenang

Setelah beberapa tahun operasi di bawah pengawasan asing dan perusahaan lokal, wewenang kembali diberikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang efektif berlaku per 1 April 1997. UU ini mengembalikan kewenangan ke Bea Cukai dengan lingkup tugas dan fungsi yang jelas, serta mengakhiri berlakunya hukum kolonial di bidang kepabeanan dan cukai.

Reformasi Regulasi Cukai

Lebih lanjut, UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007, yang memperbarui regulasi cukai untuk memodernisasi dan memadankan praktik pengawasan dalam negeri dengan standar internasional. Ini menandai langkah maju dalam upaya pemerintah untuk menghadirkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan pajak dan cukai.

Perjalanan reformasi Bea Cukai RI adalah cerminan dari dinamika pengelolaan negara yang terus menerus berupaya memperbaiki diri seiring dengan tantangan yang ada. Pembekuan operasi Bea Cukai pada era 1980-an adalah langkah drastis, tetapi perlu, dalam upaya reformasi besar-besaran yang bertujuan untuk membangun kembali integritas dan profesionalisme dalam layanan publik di Indonesia. Kisah ini mengingatkan kita bahwa transparansi, keadilan, dan pelayanan yang efisien adalah prinsip yang harus terus diupayakan dalam setiap institusi pemerintahan.

0 Response to "Jejak Kelam Bea Cukai RI: Jadi Sarang Pungli Hingga Dibekukan Soeharto"

Post a Comment