Gus Dur: Tokoh yang Dibesarkan Oleh Budaya Baca

 Gus Dur: Tokoh yang Dibesarkan Oleh Budaya Baca

Semua orang pasti mengenal sosok Gus Dur, guru bangsa Indonesia yang dikenal pemikiran dan sikap toleransinya antar umat beragama dengan basis kemanusiaan. Bahkan sampai hari ini banyak pihak yang merindukan kehadiran Gus Dur. Mengapa demikian?

Kita barangkali tak bisa percaya bahwa di masa sekolahnya, Gus Dur adalah anak yang nakal. Bahkan pernah suatu ketika mencuri mangga, terjatuh dari dahan, dan lengan kanannya patah. Dia seperti anak-anak desa pada umumnya, suka bermain permainan tradisional dan syarat keakraban. Satu-satunya hal yang membentuk mimpinya adalah keteladanan sang Ayahanda, K.H. Wahid Hasyim, yang saat itu aktif di NU Jakarta dan tinggal disana sekeluarga (istri dan anaknya). Uniknya, alasan sang ayah pindah ke Jakarta adalah: masyarakat di Jombang masih penuh dengan dogma-dogma dan berpikir stagnan, tidak berkembang. Sehingga K.H. Wahid Hasyim merasa perlu membuat gerakan di lingkungan yang baru, Ibu Kota Jakarta.

Untuk sekolah menengah, Gus Dur disekolahkan di salah satu SMEA Yogyakarta. Di kota pelajar itu Gus Dur sambil mondok di PonPes K.H. Ali Ma’shum Krapyak. Dari sana Gus Dur menemukan banyak hal yang baru, dan juga dipelajarinya. Mulai dari adanya perpustakaan yang memiliki koleksi buku lebih lengkap dari pada kota-kota lainnya di Indonesia, hingga cara berbudaya masyarakat Yogyakarta. Karena Yogyakarta dikenal sebagai kota istimewa yang kental dengan rasa kemanusiaan dan sikap yang toleran antara agama. Di sana, Masjid dan Gereja berdiri secara berdampingan itu sudah biasa.

Di Yogyakarta Gus Dur belum juga puas. Bahkan pernah suatu ketika Gus Dur menyempatkan diri untuk beralih ke perpustakaan Magelang, demi mencari buku-buku yang baru. Sampai akhirnya Gus Dur memilih untuk merantau ke Mesir demi memenuhi hasrat pengetahuannya. 

Kita tidak akan pernah menukik bahwa perjalanan di masa kecil seseorang adalah tangga untuk masa depannya, sama sekali tak bisa dilupakan begitu saja seakan tak ada artinya. Gus Dur, yang tangan kanannya pernah patah karena mencuri mangga dan terjatuh, hidup di samping seorang ayah yang tidak biasa. K.H. Wahid Hasyim memiliki perpustakaan pribadi di kediamannya di Jakarta, dimana Gus Dur setiap hari dan malam suka membaca koleksi-koleksinya. Uniknya, di perpustakaan itu terdapat majalah-majalah terbitan orang Katolik yang setiap hari menjadi bacaan keluarga. Lalu, bagaimana dengan musik?

Di masa sekolah dasarnya di Jakarta, Gus Dur sudah jatuh cinta pada musik lewat teman ayahnya, Williem Iskandar Bueller orang Jerman yang sudah masuk Islam, yang setiap sore hari mengajarinya musik di rumah Bueller. Dari sana Gus Dur sudah berkenalan setidaknya pada tiga hal: orang Muallaf barat, Musik barat dan Majalah Katolik. Sejatinya itulah yang membawa Gus Dur pada pribadi yang Pluralis kelak. Bahkan SD Gusdur di Jakarta sampai ada dua sekolah, karena suka pindah-pindah agar tidak bosan.

Lulus SD di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP di kota yang sama. Itu terjadi setelah ayahnya, KH. Wahid Hasyim, meninggal di usia 38 tahun karena kecelakaan di jalan antara Bandung dan Cimahi. Saat kecelakaan itu, banyak orang berbaris seraya memberikan hormat tangan sambil menangis, namun Gus Dur tidak paham situasi itu. Gus Dur tidak paham bahwa ayahnya adalah seorang yang berpengaruh bagi orang banyak, sehingga di akhir hayatnya diiringi tangisan banyak orang dan baris berbaris. Gus Dur hanya bengung saja.

Di SMEP sekolah barunya itu Gus Dur tidak mengalami perkembangan secara nilai tertulis. Gus Dur merasa apa yang diajarkan di sekolah itu sudah pernah dipelajarinya. Sehingga Gus Dur sering tidak masuk sekolah, dan mengulang kelas 1 karena tidak naik kelas. Karena merasa Gus Dur kurang berkembang dengan baik, akhirnya sang Bunda memindahkannya ke SMP di Yogyakarta.

Kita tak bisa menampik bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua Ormas yang memiliki dasar gerakan berbeda. Tetapi bukan berarti keduanya saling bermusuhan dan adu kesaktian, sebagaimana yang dilakukan Gus Dur. Gus Dur pada kepindahannya dari Jakarta ke Jogjakarta tinggal di rumah Kyai Junaidi, teman dekat ayahnya, selaku Majelis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah waktu itu.

Kalau kita lihat sekarang mungkin peristiwa Gus Dur tinggal di rumah Kyai Junaidi merupakan hal yang biasa saja. Tetapi waktu itu hampir tidak ada pertautan sama sekali antara dasar gerakan NU dan Muhammadiyah. NU adalah organisasi islam yang mengejawantahkan dan mewakili islam tradisional (pedesaan). Sementara Muhammadiyah memiliki jargon bagi kaum modernis (perkotaan). Hal yang demikian wajar saja, karena NU tumbuh di wilayah pedesaan Jombang Jatim, sementara Muhammadiyah tumbuh di Yogyakarta yang merupakan pusat perkembangan dan gerakan kemerdekaan waktu itu.

Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 sebagai akibat dari bangkitnya gerakan kaum modernis Timur Tengah. Muhammadiyah memiliki visi untuk mereformasi dan memodernkan pemikiran dan praktik islam. Visi tersebut berhasil, seiring gerakan penguatan dalam pendidikan dan kebudayaan. Kyai dan Ulama pesantren akhirnya sadar, bahwa bila tidak ada organisasi serupa, maka kebudayaan tradisional akan kehilangan muka dan dukungan dari masyarakat. 

Akhirnya NU didirikan pada tahun 1926. NU mencoba membendung gerakan kaum modernis yang semakin menghilangkan pola penghayatan atau Sufisme dalam islam tradisional. Namun tidak sepenuhnya menentang ide-ide modernisme islam. Dalam beberapa hal, NU menerima modernisasi islam terutama di bidang pendidikan yang lebih dikuatkan pada kurikulum modern dan sekular. Akhirnya NU di samping memiliki pesantren sebagai lembaga Sufisme, juga mendirikan Madrasah sebagai wahana belajar ilmu-ilmu umum atau modern.

Banyak pemimpin NU dan Muhammadiyah memiliki kedekatan hubungan pribadi, termasuk KH. Wahid Hasyim dengan Kyai Junaidi, dan banyak kerjasama dijalin oleh dua organisasi tersebut. Banyak dari keduanya aktif dalam gerakan Nasionalis. Pada masa penjajahan Jepang, keduanya akhirnya terpaksa mendirikan organisasi kebangsaan bernama Masyumi, dan menjadi partai politik besar yang mewakili kepentingan-kepentingan islam.

Pada tahun 1952, NU tiba-tiba memisahkan diri dari Masyumi karena membesarnya antipati antar kedua organisasi tersebut. Pertentangan tersebut semakin memuncak pada negosiasi mengenai posisi kabinet di bulan Maret tahun itu. Orang-orang NU umumnya merasa bahwa orang-orang Muhammadiyah menganggapnya sebagai “orang tolol dari desa” yang kasar. 

Oleh akrena itu, tinggalnya putera bekas pemimpin NU, Gus Dur, di rumah salah seorang pemimpin Muhammadiyah merupakan hal yang luar biasa. Pengalaman itulah yang membentuk pandangan Gus Dur tentang toleransi dan perbedaan kelak di usia dewasa.


0 Response to "Gus Dur: Tokoh yang Dibesarkan Oleh Budaya Baca"

Post a Comment