Mengenal Dewey Decimal Classification (DDC)
Halo, Sobat Pustaka! Kali ini kita akan membahas tentang sistem klasifikasi yang mungkin sudah akrab di telinga kita, terutama bagi yang sering berkunjung ke perpustakaan. Namanya adalah Dewey Decimal Classification (DDC). Sistem ini bukan hanya sekedar alat untuk mengelompokkan buku, tapi juga memiliki peran penting dalam literasi masyarakat. Yuk, kita kenali lebih dalam!
Sejarah DDC: Dari Melvil Dewey hingga ke Seluruh Dunia
DDC pertama kali dikembangkan oleh Melvil Dewey pada tahun 1876. Dewey, seorang pustakawan asal Amerika Serikat, menciptakan sistem ini dengan tujuan menyederhanakan pengorganisasian buku di perpustakaan. Seiring waktu, DDC menjadi standar klasifikasi utama yang digunakan oleh perpustakaan di seluruh dunia. Bayangkan saja, lebih dari 200.000 perpustakaan di 138 negara menggunakan DDC, termasuk 95% perpustakaan umum dan sekolah di Amerika Serikat.
Sistem DDC membagi pengetahuan menjadi sepuluh kelas utama, mencakup semua bidang ilmu pengetahuan mulai dari filsafat, ilmu sosial, hingga sejarah. Struktur ini sangat logis dan hierarkis, di mana nomor yang digunakan semakin spesifik seiring dengan subkelas yang lebih rinci. Hasilnya, kita bisa dengan mudah menemukan buku berdasarkan topik tertentu, tanpa kebingungan.
Baca Juga:
Menggapai Indonesia Emas 2045 melalui Gerakan Literasi Desa
Fleksibilitas dan Evolusi DDC di Era Digital
Salah satu keunggulan DDC adalah fleksibilitasnya. Dengan sistem ini, perpustakaan dapat mengatur ulang koleksi buku tanpa kehilangan keterkaitan tematik antar buku. Ini sangat membantu dalam menjaga efisiensi dan keteraturan di perpustakaan. Apalagi, di era digital seperti sekarang, DDC juga hadir dalam versi online, yaitu Web Dewey. Versi ini memudahkan pustakawan dan pengguna dalam mengakses serta menggunakan DDC di manapun dan kapanpun.
Namun, meski sangat bermanfaat, DDC juga memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai contoh, sistem ini kadang sulit mengakomodasi disiplin ilmu baru dan cenderung bias terhadap budaya Barat dan Kristen. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perpustakaan yang memiliki koleksi buku dari berbagai budaya dan disiplin ilmu yang lebih beragam.
Menariknya, penggunaan DDC di perpustakaan akademik terus menurun. Pada tahun 1955, sekitar 80% perpustakaan akademik menggunakan DDC, namun pada tahun 2018, hanya sekitar 13,5% saja yang masih menggunakannya. Beberapa perpustakaan umum bahkan mulai mempertimbangkan pengaturan alternatif seperti sistem BISAC, yang lebih mirip dengan penataan buku di toko buku.
Baca Juga:
Menelusuri Jejak Kecamatan Limpasu
DDC dan Pengaruhnya terhadap Literasi Masyarakat
Sobat Pustaka, meskipun banyak perubahan dan tantangan, peran DDC dalam mendukung literasi masyarakat tidak bisa diabaikan. DDC membantu memudahkan akses informasi, mendukung eksplorasi pengetahuan, dan meningkatkan efisiensi pencarian buku di perpustakaan. Dengan sistem yang terstruktur, pengunjung perpustakaan dapat lebih mudah menemukan informasi yang mereka butuhkan, baik untuk keperluan akademik, penelitian, atau sekadar membaca untuk hiburan.
Bagi kita yang hidup di era digital, akses terhadap informasi yang cepat dan akurat sangat penting. DDC, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tetap menjadi salah satu alat yang berharga dalam dunia literasi. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja DDC, kita bisa lebih efektif dalam memanfaatkan perpustakaan, baik fisik maupun digital, untuk mengeksplorasi dunia pengetahuan yang begitu luas.
Jadi, Sobat Pustaka, ketika kita mengunjungi perpustakaan berikutnya, ingatlah bahwa DDC adalah kunci yang membantu kita menemukan harta karun pengetahuan di antara deretan buku. Mari kita terus mendukung literasi dan mengembangkan minat baca, karena membaca adalah jendela dunia!
Baca Juga:
Meningkatkan Literasi Masyarakat dengan Sistem Temu Kembali Informasi
0 Response to "Mengenal Dewey Decimal Classification (DDC)"
Post a Comment