Alkisah, dahulu kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu
terletak di tempat yang sekarang bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong.
Disebut Kerajaan Lambu Garang, karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu
amat zalim. Ia suka memeras keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik
sebagai selir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan
isteri orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak
ada yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja
Lambu Garang berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap
Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama
pengawalnya, ia melihat perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan
selir-selirnya, bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi
saat rombongan tiba di Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong
perempuan itu ke istana, untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar
tentang perempuan itu membuat niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu
Magat, tokoh berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki
ladang yang luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama
istrinya, tapi juga bersama adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun
berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah
bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia
akan mendapat perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung
membantu Datu Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal
untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih
kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia
menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana.
Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk
mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai
selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam
dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta
pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat
menyambutnya dengan suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara
cuma-cuma, segala macam hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja
Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya
di hutan. Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok
paginya, rombongan raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang
lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya,
kecuali menggunakan tangga. Raja memerintahkan pengawal membuat tangga,
bersambung-sambung, hingga setinggi pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat
diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat
tiba di puncak pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga
itu di bagian bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun.
Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa
kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan
menjadi selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di
puncak pohon. Ia tak dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan
menolongnya. Tapi, harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan
belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa
lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai,
yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat
peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang
Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang
Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili
Diang Wangi, termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering
merasakan ada yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri.
Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah
menghamili adik kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya
menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak
belukar di seberang rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat
persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun
menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut itu hanya embun, yang biasanya
turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya,
hanya menyelimuti rumahnya, tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa
menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu
adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca
mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu
Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang
mengendap-endap di jendela kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat
kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah
melampiaskan hawa nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan
tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.
Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan
menemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar.
Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan
pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang
besar-besar, lebat dan panjang. Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung
menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah
menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu
Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas
kebaikannya, raksasa bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat
saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai
tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra
Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya
di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu,
Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan
berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila
terdengar suara ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun
kembali ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta
dan hiburan.
Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu
Magat langsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa.
Dilemparkannya lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga.
Seketika, terdengar suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan
Diang Sasar berlari kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat
suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah,
saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu
tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu
Garang, permaisuri dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat
yang hadir dalam pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari
muka bumi, hanya dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di
Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai,
yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu
Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan
Pembataan, tak jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.
***
0 Response to "Ledakan Tiga Biji Limpasu"
Post a Comment