Mengenal Pejuang Asal Tabalong Gusti Buasan Desa Lampahungin Kecamatan Haruai

Mengenal Pejuang Asal Tabalong Gusti Buasan 

Desa Lampahungin Kecamatan Haruai


Lampahungin atau lebih dikenalnya Desa Bongkang Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong memiliki sejarah perjuangan di masa lampau. Cerita sejarah ini pada umumnya masih asing di telinga masyarakat Kabupaten Tabalong

Pejuang tersebut ialah Gusti Buasan yang dimakamkan di area salah satu pondok pesantren daerah Lampahungin dan saat ini makam tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya yang ada di Kabupaten Tabalong. 

Saat ini untuk merawat dan memelihara area makam dilakukan seorang juru pelihara yang bernama Wahyudi dimana ya sebagai cupel sejak tahun 2014 lalu menghentikan orang tuanya. Berdasarkan catatan yang diriwayatkan oleh mahlan selaku Kepala Desa  Lampahungin Haruai dan Haji Idris Penghulu Murung Pudak. 

Gusti Buasan ini  tokoh pejuang di Tabalong yang pergerakannya berjuang di wilayah timur  sepanjang Sungai Tabalong Kiwa. Perjuangan bermula setelah pertempuran di Tanjung tanggal 17-19 Agustus 1860. Kota Tanjung dan sekitarnya telah dikuasai serdadu Belanda. Orang tua Gusti Buasan bersama keluarganya melakukan pelarian di perkampungan Marindi. Dimana hutan Marindi sebagai tempat pelarian Gusti Buasan dan saudaranya Gusti Barakit.

Sejarah Gusti Buasan ini beliau lahir di di Pulau, Kecamatan Kelua itu pada tahun 1849 kemudian Adiknya Gusti Barakit lahir pada tahun 1851. Kemudian terjadi pertempuran di Tanjung pada tanggal 17 - 19 Agustus 1830 dan kalah waktu itu makanya larian ke ke Marindi. Sekitar tahun 1866 di tempat pelarian hutan Marindi, Gusti Buasan membuka area pertanian dengan dibantu oleh seorang ulama Gusti Abu Bakar. Kemudian Gusti Buasan dikawinkan dengan seorang putri kepala adat suku Dayak Kinarum saat perjuangan Gusti Buasan dibantu istrinya beserta saudaranya yakni Gusti barakit dibantu angkatan muda yang terlatih dalam perjuangannya dilakukan secara bergerilya melawan serdadu Belanda yang tersebar ke beberapa wilayah.

Sekitar awal tahun 1914 perjuangan Gusti Buasan harus berakhir saat menjenguk prajuritnya bersama istri dan Gusti Barakit yang sedang sakit. Saat menaiki tangga tiba-tiba Gusti Buasan terkena peluru pada paha kanannya oleh serdadu Belanda. Setelah terkena tembakan Gusti Buasan langsung berguling ke semak-semak sekitar kejadian sementara istri dan saudaranya berguling ke tempat yang aman selanjutnya serdadu Belanda melakukan pencarian Gusti Buasan tetapi tidak ditemukan

Setelah serdadu Belanda mundur melakukan pencarian dan selanjutnya ia diamankan ke tempat yang aman dan dilakukan pengobatan secara tradisional namun dengan keadaan yang cukup parah dan tidak mungkin lagi untuk disembuhkan ia beramanat bahwa perang perlawanan terhadap kompeni Belanda agar tetapi teruskan sampai dengan titik darah yang penghabisan. Pimpinan perang gerilya diserahkan sepenuhnya kepada adiknya Gusti Barakit, 

Satu hari setelah pemakaman, istri almarhum Gusti Buasan diungsikan ke Marindi, sedangkan Gusti Barakit ditemani oleh 2 orang anggota prajurit yang tahan uji berangkat ke Teweh melalui Kalua, Ampah dan seterusnya dengan amanat penting terhadap pemimpin sementara prajurit di sektor Tabalong antara lain:

  1. Semua prajurit yang tinggal di kampung agar dipindahkan ke lokasi tempat latihan di hutan-hutan.

  2. Untuk sementara pencegatan terhadap patroli Belanda ditangguhkan sampai ada perintah selanjutnya.

  3. Kewaspadaan agar lebih ditingkatkan, terutama terhadap pengkhianat yang sukar dapat dipastikan.

Puteri Zaleha atau sering juga disebut Ratu Zaleha adalah anak dari Sultan Muhammad Seman dan cucu dari Pangeran Antasari asal Sungai Batang Martapura. Suami beliau bernama Gusti Muhammad Arsyad. Puteri Zalekha berjuang mendampingi suaminya dan ayahnya sejak berusia 20 tahun. Suaminya tertawan oleh Belanda pada tanggal 1 Agustus 1904 M.

Kedatangan Gusti Barakit disambut hangat oleh beliau dan sekaligus membantu perjuangan rakyat Tabalong. Panglima Batur tidak diizinkannya karena harus memimpin perjuangan rakyat Kalimantan Tengah terhadap Kompeni Belanda.

Puteri Zaleha bersama Gusti Barakit didampingi dua orang pembantu Putri Zaleha berangkat menuju Tabalong lewat Ampah dan Tamiang Layang. Sesampainya di Kalua, mereka berpisah untuk sementara, yaitu Gusti Barakit langsung ke Mahe dan Lampahungin untuk memberikan komando persiapan perang. Sedang Puteri Zaleha bersama dua orang pembantunya beristirahat di Desa Tantaringin (sekarang Desa Asam Pauh) di tempat salah seorang keluarga asal Teluk Silang Martapura (kakek dari St. Habibah).

Sesuai dengan waktu dan jadwal yang sudah ditetapkan bersama antara Ratu Zaleha dengan Gusti Barakit, semua pasukan inti dipusatkan di Mahe, sedang pasukan cadangan ditempatkan di Tabalong Kiwa dan Haruai secara serentak. Sedangkan Ratu Zaleha berangkat menuju Mahe ditemani oleh Datu Ambia asal teluk Manduin Kecamatan Muara Harus ditambah dua orang pembantunya melalui jalur Mangkusip, Murung Pudak dan Tebing Siring. Dari Tabing Siring diangkut perahu menuju mahe. Karena disiplin waktu, sehingga seluruh pasukan sudah terkumpul di sektor Mahe, sektor Tabalong Kiwa dan Sektor Haruai.

Dari pihak Kompeni Belanda, sejak gugurnya Gusti Buasan dan menghilangnya Gusti Barakit dan istri Gusti Buasan yang menurut perkiraan mereka keduanya telah gugur bersama Gusti Buasan, disamping perlawanan rakyat selama ini tidak pernah lagi dilakukan oleh pasukan Berandal, hal ini dianggap oleh Kompeni Belanda keadaan sudah aman, perlawanan rakyat 100% telah terpatahkan. Oleh karena itu pihak Kompeni Belanda segera akan menempatkan kompi pertahanan di Mahe dan Haruai (Sektor Utara) yang selama ini mereka belum ada keberanian. Hal ini diketahui oleh Gusti Barakit disebabkan adanya kebocoran dari pihak spion (mata-mata) yang tertangkap oleh seorang gerilyawan yang menyamar sebagai spion Belanda.Rencana penyerangan Tanjung untuk sementara ditangguhkan, disebabkan rencana Kompeni Belanda akan menempatkan kompi keamanannya di sektor Utara yang telah dianggap aman, yaitu Mahe dan Haruai. Sejak keputusan itu diambil, semua penjuru di sektor Mahe dijaga dengan ketat, kemungkinan pihak spion (mata-mata) Belanda melaporkan ke Tanjung.

Pada malam berikutnya bergerak pasukan Kompeni Belanda menuju Mahe, sekitar jam 03.00 pasukan tersebut telah tiba di Mahe. Atas komando Ratu Zaleha, dengan sistem gerilya pasukan Kompeni Belanda diserang dengan tiba-tiba, sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat. Tiga hari kemudian pasukan cadangan  di Haruai dan Tabalong Kiwa diperintahkan turun ke Mahe, karena pasukan Belanda mendapat bantuan dari Kandangan dan Amuntai.

Puteri Zaleha sebagai prajurit yang cukup sakti dan tidak terkena sasaran peluru cukup gigih memberikan komando perlawanan dan tetap berada pada bagian terdepan. Jumlah korban kedua belah pihak cukup banyak. Namun sebagai akibat tidak seimbangnyanya kekuatan personil dan logistik, akhirnya seluruh kekuatan gerilyawan Mahe dapat dikuasai oleh Kompeni Belanda. Anggota gerilyawan yang masih selamat mereka kembali mengamankan diri di hutan-hutan yang dianggap aman, sedang Puteri Zaleha bersama dua orang pembantunya kembali menuju Tewe. Berhubung fisik beliau dalam keadaan sakit-sakitan, akhirnya menyerah kepada Kompeni Belanda di tewe. Oleh Kompeni Belanda beliau diasingkan bersama suaminya di Bogor. Alhamdulillah suami-istri tersebut berusia panjang, sehingga dalam tahun 1937 beliau dibebaskan dan sempat menikmati Indonesia merdeka. Pada tanggal 24 September 1953 Puteri Zaleha berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di Martapura.


0 Response to "Mengenal Pejuang Asal Tabalong Gusti Buasan Desa Lampahungin Kecamatan Haruai"

Post a Comment