Lamut, Seni Bertutur yang Nyaris Lenyap

Lamut, Seni Bertutur yang Nyaris Lenyap



Halo, sobat Pustaka, pernahkah kalian duduk santai di malam hari, dikelilingi keluarga, sambil mendengarkan kisah-kisah panjang nan penuh petualangan dari berbagai negeri? Suasana seperti itu kini mungkin terasa asing. Tapi dulu, di tanah Banjar, itu adalah hiburan yang ditunggu-tunggu. Dan sang bintang utamanya adalah: Lamut.

Lamut bukan sekadar seni pertunjukan biasa. Ia adalah seni bertutur, seni mendongeng panjang tanpa iringan musik yang semula datang dari negeri seberang—Tiongkok. Ya, sobat pustaka, lamut punya akar sejarah yang unik. Konon, pada awalnya, cerita-cerita lamut disampaikan dalam bahasa Tionghoa, sebelum kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Banjar oleh para pendongeng lokal yang tertarik dengan gaya dan isi kisahnya.

Cerita rakyat menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1816, para pedagang Tionghoa membawa cerita-cerita ini ke Tanah Banjar dan menyebarkannya hingga ke pelosok seperti Amuntai. Di sinilah cerita bertemu dengan takdirnya. Seorang tokoh lokal bernama Raden Ngabe bertemu dengan pedagang pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pertemuan itulah ia mendengar alunan syair China yang kelak mengubah jalan hidupnya. Enam bulan kemudian, sang pedagang kembali dan memberikan salinan syair kepada Raden Ngabe. Maka dimulailah babak baru: lamut versi Banjar.

Awalnya, lamut disampaikan tanpa alat musik. Murni suara, irama, dan kisah. Namun, ketika kesenian hadrah mulai dikenal masyarakat Banjar, lamut pun mendapat teman: terbang (alat musik pukul khas). Dari situ, pertunjukan lamut berkembang dan mulai menjadi hiburan khas saat panen raya, acara perkawinan, peringatan hari besar keagamaan, hingga acara kenegaraan. Lamut bahkan punya nama khusus: lamut karasmin.

Tapi lamut tak hanya hadir sebagai hiburan. Dalam tradisi Banjar, ia juga punya peran spiritual. Ia hadir dalam ritual batatamba, yaitu proses penyembuhan penyakit dengan doa, syair, dan harapan. Saat seseorang memiliki hajat yang terkabul, maka pertunjukan lamut menjadi bentuk rasa syukur. Kata "lamut" sendiri dipercaya berasal dari bahasa Arab "laa mauta" (ﻻﻤﻭﺕ), yang berarti tidak mati—sebuah harapan agar kisah dan nilai dalam lamut terus hidup sepanjang zaman.

Baca Juga:

Pemilihan Nanang Galuh Intan Kabupaten Banjar 2024

Namun sayangnya, sobat pustaka, realitas tak selalu seindah harapan. Saat ini, seni lamut berada di ujung tanduk. Pelan tapi pasti, satu per satu palamutan—sebutan bagi pendongeng lamut—telah meninggal dunia. Dan yang lebih menyedihkan, tidak ada regenerasi. Generasi muda tidak tertarik lagi untuk mewarisi seni bertutur panjang ini. Mereka yang dulu tekun mendengarkan lamut, kini lebih senang berselancar di media sosial. Kesenian yang dulu hidup dalam suara, kini tenggelam dalam sunyi.

Yang membuat miris, tak ada satu pun organisasi atau lembaga yang secara serius membina atau melestarikan seni ini. Padahal, lamut adalah warisan budaya, bukan hanya untuk Kalimantan Selatan, tetapi juga Indonesia. Ia menyimpan nilai-nilai luhur, sejarah lintas budaya, serta keindahan sastra lisan yang tak tergantikan.

Lamut mengajarkan kita banyak hal—tentang kesabaran dalam mendengar, kekuatan imajinasi, dan kebijaksanaan yang terkandung dalam cerita. Dalam satu malam pertunjukan lamut, kita bisa mengarungi negeri-negeri jauh, bertemu raja dan petapa, menjelajah hutan lebat, bahkan menyaksikan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, semua lewat suara dan kata.

Mungkin, kini waktunya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita rela melihat lamut benar-benar hilang? Apakah warisan itu hanya akan tersisa sebagai catatan kaki dalam buku sejarah?

Sobat pustaka, mari kita jaga agar lamut tidak benar-benar "mati". Mari bicara tentangnya, menulisnya, merekamnya, atau bahkan—siapa tahu—belajar menyampaikannya. Karena selama masih ada satu orang yang mengingatnya, seni ini belum sepenuhnya hilang.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, kita bisa duduk kembali dalam lingkaran malam, mendengar kisah-kisah lama dilantunkan, dan berkata dalam hati: "Lamut belum mati."

Baca Juga:

Wali Datu Sanggul Berjalan Diatas Air Sambil Bersyair

0 Response to "Lamut, Seni Bertutur yang Nyaris Lenyap"

Post a Comment