Menelusuri Jejak Urang Kutai
Hai, sobat Pustaka, kalau bicara soal kekayaan budaya
Kalimantan Timur, rasanya tak lengkap kalau kita tidak menyebut nama Suku
Kutai. Di balik gemuruh Sungai Mahakam dan megahnya sejarah Kesultanan Kutai,
terdapat cerita yang lebih dalam—kisah tentang akar, leluhur, dan warisan
budaya yang terus hidup dalam denyut nadi masyarakatnya.
Urang Kutai, begitu mereka menyebut diri mereka
sendiri, adalah salah satu suku tertua yang mendiami pesisir hingga pedalaman
Kalimantan Timur. Walaupun kini dikenal dengan budaya yang kental akan nuansa
Melayu dan Islam, jejak-jejak spiritual nenek moyang masih bisa kita rasakan.
Ya, sebagian masyarakat Kutai masih memegang kepercayaan Kaharingan, sebuah
kepercayaan asli masyarakat Dayak yang menghormati alam dan leluhur. Ini
membuktikan bahwa identitas Urang Kutai bukanlah tunggal, tapi mozaik dari berbagai
pengaruh budaya yang berpadu secara alami.
Kalau kita lihat lebih dekat, ternyata Suku Kutai
masuk dalam rumpun Dayak Ot Danum—sama seperti saudara tuanya, Suku Dayak
Tunjung dan Benuaq. Menurut cerita turun-temurun, masyarakat Kutai berasal dari
percabangan leluhur Ot Danum yang kemudian terpapar oleh budaya Melayu dan
pengaruh Islam, hingga terbentuklah identitas baru yang kita kenal sekarang:
Suku Kutai.
Tapi jangan salah, sobat pustaka, meski sudah
mengalami banyak percampuran budaya, masyarakat Kutai tetap setia menjaga
akarnya. Bahkan mereka menyebut suku Dayak dengan istilah penuh hormat:
Densanak Tuha, yang artinya “Saudara Tua”. Istilah ini bukan sekadar sapaan,
tapi cermin dari kesadaran akan akar sejarah yang sama. Bukankah indah ketika
identitas bukan jadi alasan perbedaan, tapi justru menjadi jembatan
persaudaraan.
Baca Juga:
Masjid
Darus Saadah, Peninggalan Bersejarah di Balimau
Berbicara soal budaya, Suku Kutai punya banyak hal
menarik untuk dibanggakan. Salah satunya adalah upacara adat Erau. Bagi sobat
pustaka yang belum pernah menyaksikannya, Erau adalah sebuah pesta rakyat
sekaligus ritual sakral yang menggabungkan unsur adat, kerajaan, dan
spiritualitas. Dari tarian, musik, hingga arak-arakan perahu naga di Sungai
Mahakam, semua menunjukkan kekayaan budaya yang begitu megah dan meriah.
Selain Erau, masyarakat Kutai juga mengenal upacara
Belian—sebuah ritual penyembuhan tradisional yang melibatkan tarian dan
mantra-mantra kuno. Belian adalah contoh nyata bagaimana ilmu pengobatan
tradisional dan spiritual masih punya tempat dalam kehidupan masyarakat, meski
zaman terus bergerak maju.
Tak hanya soal adat, kebudayaan Melayu juga turut
memberi warna pada kehidupan Urang Kutai. Coba dengarkan alunan musik Gambus
atau saksikan pertunjukan teater tradisional Mamanda. Ada juga seni Jepen atau
Zapin yang lincah dan penuh irama. Kesenian ini bukan sekadar hiburan, tapi
bagian dari identitas yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan budaya
bersyair seperti Tarsul masih eksis dan terus dilestarikan sebagai cara
mengungkapkan nasihat, cerita rakyat, hingga romantisme masa lalu.
Yang menarik, kesamaan budaya antara Kutai dan Banjar
juga terasa begitu dekat. Mulai dari struktur bahasa, adat istiadat, hingga
gaya berpakaian. Kedekatan ini bisa ditelusuri dari sejarah panjang migrasi dan
pertukaran budaya antar pulau, yang sudah terjadi jauh sebelum Indonesia
merdeka. Hal ini menjadikan budaya Kutai sebagai jembatan antara daratan
Kalimantan dan budaya Melayu di seberang pulau.
Sobat pustaka, dalam dunia yang serba cepat dan serba
digital seperti sekarang, menjaga dan mengenali akar budaya adalah bentuk
penghormatan terhadap jati diri kita sendiri. Urang Kutai dengan segala cerita,
adat, dan keseniannya adalah cerminan dari perjalanan panjang sebuah komunitas
yang tidak hanya bertahan, tapi juga terus berkembang tanpa melupakan
asal-usulnya.
Jadi, kapan terakhir kali kamu mendengar cerita dari
sungai Mahakam? Atau melihat tarian Belian yang mistis? Atau bahkan sekadar
duduk dan membaca syair Tarsul dari para tetua kampung?
Semoga setelah membaca kisah ini, kamu bisa semakin
bangga dengan keberagaman budaya kita, dan menyadari bahwa di balik nama-nama
suku seperti Kutai, tersimpan kisah tentang persatuan, akar leluhur, dan
identitas yang tidak lekang oleh waktu.
Baca Juga:
Masjid Al Abrar, Tempat Ibadah Favorit di Hulu Sungai Selatan
0 Response to "Menelusuri Jejak Urang Kutai"
Post a Comment