Adat Banjar Maharagu Buhaya Kuning

Adat Banjar Maharagu Buhaya Kuning



Halo, sobat Pustaka,ada satu adat yang masih lestari di beberapa daerah tepian Sungai Tabalong, khususnya di Kalua dan Amuntai, yang tak hanya unik tapi juga sarat makna spiritual: adat maharagu buhaya kuning, atau dalam bahasa kita sehari-hari, memelihara buaya kuning.

Mungkin terdengar mistis dan sedikit menegangkan, ya? Tapi tenang dulu, sobat. Ini bukan soal memelihara buaya dalam artian menaruhnya di kolam belakang rumah. Lebih dari itu, ini adalah bentuk penghormatan dan keterikatan spiritual terhadap sesuatu yang dianggap lebih tinggi, lebih tua, dan lebih bijak—yakni buaya kuning yang diyakini sebagai jelmaan datu-datu terdahulu. Bahkan ada yang percaya, makhluk ini sudah hidup sejak zaman legendarisnya Putri Junjung Buih, tokoh mistik yang sangat dihormati di Tanah Banjar.

Menariknya lagi, bagi sebagian keluarga, buaya kuning ini bukan sekadar jelmaan tokoh suci, tetapi juga kembaran saat lahir. Jadi bisa dibayangkan, sobat pustaka, bagaimana ikatan batin dan rasa tanggung jawab terhadap “saudara gaib” ini begitu kuat dan diwariskan lintas generasi.

Nah, karena dianggap sebagai sosok yang dipelihara secara batin, tentu ada ritual-ritual yang harus dijalankan. Salah satunya adalah memberi makan. Tapi jangan bayangkan pemberiannya seperti melempar ayam hidup ke sungai. Ritualnya penuh kelembutan dan sarat simbol.

Biasanya, makanan yang dipersiapkan mencerminkan kesederhanaan namun penuh rasa hormat: satu sisir pisang mauli, telur ayam rebus, dan ketan (lakatan). Jika ingin lebih, boleh ditambah kue tradisional seperti apam dan cucur, hiasan bunga, dan sebatang rokok. Semua ini bukan untuk kenyang-kenyangan, tapi sebagai bentuk sedekah batin kepada makhluk yang dipercayai masih menjaga garis leluhur.

Baca Juga:

Bapukung, Tradisi Banjar Menidurkan Bayi

Setelah semua siap, ritual dilanjutkan dengan membacakan doa keselamatan. Dan inilah momen magisnya: makanan lalu dilabuh ke sungai, dilakukan secara perlahan-lahan, tangan tenggelam hingga sebatas siku, sebagai tanda kerendahan hati. Waktunya pun tidak sembarangan—Kamis sore menjelang malam Jumat, saat di mana langit mulai temaram dan suasana menjadi hening. Seolah semesta pun ikut menunduk dalam keheningan spiritual.

Tapi sobat pustaka, adat ini bukan tanpa tanggung jawab. Dalam kepercayaan masyarakat, jika seseorang—terutama yang sudah berikrar memelihara buaya kuning—lalai atau lupa memberikan makan dalam setahun, maka sang ruh akan datang menagih. Dan penagihannya kadang menyeramkan: bisa berupa penyakit keras yang tak kunjung sembuh, atau lebih ekstrim lagi, ada anggota keluarga yang kesurupan dan bertingkah seperti buaya merayap. Percaya atau tidak, ini bagian dari kearifan lokal yang hidup dan terus diwariskan.

Bagi kita yang tinggal di tengah kota atau jauh dari sungai, mungkin tradisi ini terasa seperti cerita fiksi. Tapi bagi masyarakat tepian sungai, khususnya di Kalua dan Amuntai, adat ini masih dijaga dengan rasa takzim yang dalam. Di balik mitos dan mistik, ada rasa cinta terhadap leluhur, terhadap alam, dan terhadap nilai-nilai hidup yang menyeimbangkan antara dunia nyata dan tak kasat mata.

Dalam konteks budaya, adat maharagu buhaya kuning adalah bukti bagaimana masyarakat Banjar menyusun harmoni hidup bersama alam dan dunia spiritual. Ia menjadi satu dari sekian banyak warisan tak benda yang memperkaya khazanah budaya nusantara.

Jadi, sobat pustaka, jika suatu hari kamu berkunjung ke wilayah Hulu Sungai dan melihat seseorang membawa makanan ke tepi sungai menjelang senja, jangan buru-buru menebak aneh-aneh. Mungkin mereka sedang menjalankan satu ritual adat yang sudah hidup lebih lama dari yang bisa kita bayangkan.

Dan yang paling penting, mari kita jaga dan hormati setiap warisan budaya, karena di sanalah tersimpan jati diri bangsa—tak hanya dari cerita besar sejarah, tapi juga dari tradisi-tradisi kecil yang penuh makna.

Baca Juga:

Edukasi melalui Apresiasi Seni

0 Response to "Adat Banjar Maharagu Buhaya Kuning"

Post a Comment