Legenda Arya Tadung Wani

 Karya : Abdul Hanafi



Pada zaman dahulu kala, di pinggir Kampung Paramian , hidup orang yang bergelar “Datu Harung”. Nama aslinya “Datu Magat”. Dahulu, gelar “datu” hanya diberikan kepada orang-orang yang dihormati dan mempunyai keistimewaan.

Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli bercocok tanam, juga ahli dalam mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi berkebun. Sebelumnya, masyarakat mendapat buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar di hutan, atau dari pohon yang tumbuh dari biji yang dibuang orang. Datu Magat kemudian memulainya dengan berkebun, dengan cara tumpang sari.

Kebun Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanak, mundar, katapi suntul, kalangkala. Dari jenis rambutan, ada maritam, siwau, pitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin, kamundai, likul, layung, karatungan. Dari jenis mangga, ada hambawang, hampalam, kuini, pulasan, rarawa, kasturi, kulipisan, sampai tandui.

Bukan hanya nangka, tiwadak, tarap dan pupuan yang ditanam Datu Magat, tapi juga langsat. Langsat Tanjung dikenal paling manis dibandingkan langsat dari daerah lain. Pohon belimbing tumbuh hampir di setiap pekarangan rumah penduduk. Cara bertanam kebun buah-buahan yang dilakukan Datu Magat disebut harung. Oleh sebab itu, Datu Magat juga dijuluki “Datu Harung”.

***

Datu Harung memiliki adik perempuan bernama Diang Dadukun. Parasnya tidak terlalu cantik, tapi wajahnya membuat damai hati yang memandangnya. Wajahnya bulat telur, selalu tersenyum, rambutnya panjang, lurus, terurai indah. Kesejukan wajahnya cermin kelembutan hatinya, yang terungkap dari tutur katanya. Tutur katanya halus dan lemah-lembut.

Karena keelokan wajah dan kehalusan budi pekertinya, orang-orang memanggilnya “Putri Mayang”. Ada pula yang memanggilnya “Diang Wangi”. Walaupun belum bertemu orangnya, kehadirannya dapat diketahui dari aroma tubuhnya yang tercium di kejauhan.

Tapi, rupanya wajah yang elok tidak selalu mendatangkan kebahagiaan.

Tubuh Diang Wangi yang harum ternyata mengundang berahi makhluk lain yang berkeliaran di malam hari. Ketika itu, sejak sore hujan turun dengan lebatnya. Tengah malam, udara dingin menusuk tulang. Tanah becek dan berlumpur. Tak ada suara jangkrik, hanya gemercik sisa air hujan yang menetes di dedaunan. Suasana sunyi senyap. Warga malas keluar dan lebih suka tidur di rumah.

Saat itulah, sesosok bayangan hitam berkelebat di rumah Datu Harung yang bertiang tinggi. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar pekik tertahan, disusul suara rintihan dari rumah kayu beratap rumbia itu. Menjelang dini hari, bayangan hitam itu berkelebat secepat kilat ke arah hutan, dan menghilang di kegelapan.

Pagi harinya, Datu Harung dan istrinya Diang Sasar terkejut melihat Diang Dadukun menangis tertelungkup, mendekapkan bantal ke wajahnya. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tangisan.

“Kenapa, ding ? Kenapa menangis? Sakit perut?” tanya Diang Sasar.

Diang Wangi tidak menjawab. Bantal kapuk yang basah bersimbah air mata, menutupi wajahnya.

Datu Harung menangkap gelagat lain. Ia bertolak pinggang. Napasnya tertahan. Di antara aroma kamar Diang Wangi, hidungnya mencium bau asing. Seperti bau keringat lelaki. Matanya menyapu sekeliling, dan terkejut ketika melihat jendela yang terbuka.

Datu Harung menghampiri jendela. Tangannya bertumpu pada bingkai jendela, lalu menengok ke bawah. Di tanah, tampak bekas-bekas jejak kaki. Ia memberi isyarat kepada istrinya, yang segera menghampiri.

Datu Harung berbisik kepada istrinya. Diang Sasar duduk kembali di pinggir dipan, merangkul bahu adik iparnyanya itu. Diang Wangi juga merangkulnya, sambil terisak-isak. Datu Harung berdiri tegang memandangi adiknya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.

“Katakan, siapa laki-laki yang masuk ke kamarmu tadi?!” Datu Harung marah.

“Aku tak dapat mengatakannya, Kak, karena…”

“Karena apa?!“

Diang Sasar mengedipkan mata kepada suaminya. Datu Harung diam mematung, menahan marah.

“Ading kenal laki-laki itu?“ tanya Diang Sasar lembut.

Diang Wangi menggeleng..

“Lalu, siapa durjana itu…?!” Datu Harung membentak.

Diang Sasar menempelkan telunjuk ke bibirnya, kembali memberi isyarat pada suaminya. Datu Harung membalikkan badan, membelakangi istri dan adiknya dengan wajah merah padam. “

“Jadi, kau benar-benar tidak tahu?” tanya Diang Sasar lagi, setelah menyuguhkan secangkir air putih untuk menenangkan Diang Wangi.

“Ulun tidak tahu, Kak. Saat ulun guring tiba-tiba dada ulun terasa sesak…,” sahut Diang Wangi. “Ulun terkejut… Ada tubuh besar menindih ulun…”

Datu Harung dan Diang Sasar menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut Diang Wangi. Wajah Diang Wangi tertunduk, bercerita sambil memainkan kuku jari-jarinya.

“Kau sempat melihat wajahnya?” tanya Diang Sasar lagi.

Diang Wangi menggelengkan kepalanya lagi. Menangis semakin nyaring.

“Aku tak dapat melihat. Pandangan mataku gelap…”

“Maksudmu?”

“Aku tak bisa membuka mata, Kak. Rambutnya panjang sekali, menyapu dan menusuk mataku. Ketika aku hendak berteriak, tangannya membekapku. Tubuhnya besar sekali, berat dan berbau. Aku tak dapat bernapas! Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi…”

Datu Harung dan Diang Sasar sadar, Diang Wangi telah digauli makhluk asing.

“Ini tak dapat dibiarkan! Aku harus menangkapnya! Jahanam itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru Datu Magat sambil mengulung kain sarung yang dikenakannya, mengikatkannya ke pinggang. Tanpa menoleh lagi, ia pergi.

***

Datu Magat mengikuti jejak-jejak kaki yang masih membekas di tanah basah. Ukuran tapak kaki itu tidak normal. Besar sekali! Tapak kaki itu mengarah ke hutan, tampak dari lumpur basah yang menempel di rerumputan.

Setibanya di bawah sebatang pohon besar, alangkah terkejutnya Datu Magat. Seorang pria raksasa sedang tertidur lelap di bawah sebatang pohon pulantan!

Pria raksasa yang hanya mengenakan cawat kulit kayu itu mendengkur keras sekali. Kemarahan Datu Magat mengalahkan rasa takut pada makhluk yang telah menodai adik kandungnya itu. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak menendang raksasa itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.

Sifat ksatrianya, muncul. “Kalau ia kubunuh selagi tidur, berarti aku seorang pengecut…,” ujar Datu Magat dalam hati.

Setelah berpikir sejenak, dicobanya membangunkan raksasa itu dengan menghentakkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. Tapi, makhluk itu masih terlelap. Ditendangnya banir pulantan tempat makhluk itu bersandar, tapi raksasa itu bergeming.

Datu Magat hampir kehabisan akal. Untuk menyentuhnya, ia merasa jijik.

Datu Magat kemudian menggunakan cara lain untuk membangunkannya. Bulu kaki raksasa itu ditapung-nya . Setelah ikatannya dirasa cukup kuat, disentakkannya bulu kaki itu dengan sekuat tenaga. Raksasa itu tiba-tiba terbangun, meringis memegangi tungkainya. Ketika melihat Datu Magat bertolak pinggang dengan marah di hadapannya, raksasa itu langsung bersimpuh.

“Oh, Kakak…!” seru raksasa itu, mengiba-iba.

“Hei…! Beraninya kau menyebutku kakak!? Perbuatanmu telah menghancurkan martabat keluargaku!” Datu Magat menuding wajah raksasa itu.

Wajah raksasa itu seketika pucat pasi. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia sadar sedang berhadapan dengan Datu Magat. Raksasa itu tidak berani mengangkat wajahnya. “Ampuni aku, Kakak! Maafkan kesalahanku. Aku suka Diang Wangi, tapi tak berani berterus terang. Tiap kali melihat Diang Wangi, aku tak dapat menahan diri. Kalau Andika ingin membunuhku, bunuhlah sekarang. Aku takkan melawan…,” jawab raksasa itu.

Mendengar pengakuan jujur raksasa itu, hati Datu Magat luluh. Lebih-lebih, raksasa itu telah berterus terang mengakui perbuatannya.

“Engkau kuampuni,“ jawab Datu Magat pendek.

“Ulun akan mempertanggungjawabkan perbuatan ulun. Kalau kakak berkenan, kawinkan ulun dengan Diang Wangi.”

Datu Magat terpaku sejenak. Maukah adiknya dikawinkan dengan makhluk gaib bertubuh raksasa itu? Kalau tidak, bagaimana dengan aib yang ditanggungnya?

“Baiklah, kau akan kukawinkan dengan Diang Wangi,” sahut Datu Magat.

Maka, dikawinkanlah Diang Wangi dengan makhluk raksasa yang telah menodainya itu. Saat ditanyai, raksasa itu tak dapat menyebutkan asal muasalnya. Dia hanya mengaku berasal dari “daerah atas”. Mungkin maksudnya adalah “atas bukit”, sebab ia menunjuk ke arah Pegunungan Meratus.

Suami Diang Wangi yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki berbagai kesaktian. Tubuhnya kebal, bisa menghilang dan, yang menakjubkan: ia mampu menembus tanah.

Tapi semua kesaktian itu tak mampu meluluhkan hati isterinya. Diang Wangi membenci pria raksasa yang telah menodainya. Ia tidak mampu melupakan peristiwa jahanam itu, lebih-lebih kalau melihat tubuh suaminya yang besar, kekar, kasar, dan bersisik seperti ular.

Perkawinan mereka tak berlangsung lama. Sepekan kemudian, suami Diang Wangi menyampaikan kata perpisahan. Ia merasa percuma bertahan dalam hubungan yang tidak sejalan.

***

Tiga purnama setelah suaminya pergi, Diang Wangi menyadari, bahwa ia telah hamil. Ia takut sekali, kalau-kalau wajah anaknya akan mirip ayahnya. “Ih, jauhakan bala… ,” katanya sambil meludah.

Kian hari, perut Diang Wangi kian membesar. Ia malu keluar rumah, akibat perkawinannya yang tidak diaruhakan seperti kebiasaan.

Setelah sembilan bulan sembilan hari, tanda-tanda kelahiran mulai dirasakan Diang Wangi. Sehari semalam perutnya sakit luar biasa. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi, setelah dukun beranak berkata, bahwa bayi yang dikandungnya besar sekali.

“Duh, Gusti… Anakku akan serupa dengan ayahnya yang raksasa…,” keluh Diang Wangi.

Setelah meminum ramuan pilungsur , lahirlah seorang bayi laki-laki. Diang Wangi merasa lega. Ternyata, wajah putranya tidak mirip ayahnya! Hanya tubuh besarnya saja yang ukurannya melebihi bayi normal. Ada tanda aneh di leher bagian belakang, serupa sisik, sebesar binggul.

Bayi besar itu diberi nama “Arya”. Diduga, sisik di lehernya adalah keturunan dari ayahnya. Ternyata, anak itu juga kebal sejak lahir. Pisau dan benda tajam tak dapat melukainya.

Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan, dan rajin membantu ibunya. Ia anak yang baik dan disukai kawan-kawannya. Arya mahir bagasing , balugu atau bacirak . Ia selalu unggul dalam permainan.

Menjelang remaja, Arya sudah menguasai berbagai kecakapan hidup, seperti berburu, membuat perangkap ikan, dan ilmu pertanian yang ia pelajari dari saudara tua ibundanya, Datu Harung, yang disebutnya Julak . Dari julak-nya itu pula, ia mempelajari pencak silat bangkui . Meskipun gerakannya persis monyet, seni bela diri bangkui tak bisa dianggap sepele. Apa lagi saat dipadukan dengan jurus tadung sawa , makin sempurnalah ilmunya.

Saat menggunakan jurus tadung sawa, Arya tampak bergerak tenang, meliuk-liuk lembut, layaknya seekor ular. Saat posisi lawannya terbuka, secepat kilat ia menyambar dan menguncinya, membuat lawannya tak berkutik. Karena ilmunya itu, namanya menjadi “Arya Tadung Wani” .

***

Suatu hari, Arya duduk santai bersama ibunya di beranda rumah. Entah mengapa, tiba-tiba Diang Wangi menjunjuk tiga ekor burung yang hinggap di dahan: “Lihatlah burung itu, Nak. Salah satu di antaranya, pasti anaknya.”

“Lalu, yang dua ekor lagi?” tanya Arya

“Pasti induknya.“

Arya menatap mata ibunya dalam-dalam, kemudian bertanya dengan hati-hati:

“Bunda, di mana ayahku?”

Diang Wangi terkejut mendapat pertanyaan itu.

Memang, selama ini Diang Wangi tak pernah menceritakan siapa ayah Arya yang sebenarnya. Ia khawatir, anaknya akan malu. Lama ia terdiam. Wajahnya yang tadi ceria, seketika berubah muram. Bayangan masa lalunya kembali teringat. Matanya berkaca-kaca. Perlahan air mata turun membasahi pipinya.

Melihat ibunya menangis, Arya menyesal. Ia merasa bersalah telah menanyakan hal itu. “Maafkan Arya, Bunda. Arya membuat Ibunda sedih….”

“Tak apa-apa, Nak. Sudah saatnya engkau mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya,” sahut Diang Wangi, sambil membelai rambut Arya Tadung Wani. Diang Wangi menceritakan peristiwa yang dialaminya, hingga kelahiran putranya itu.

Sejak saat itu, setiap malam Arya Tadung Wani tak bisa lagi tidur nyenyak. Cerita ibunya telah menghantuinya. Ia ingin menemui ayahnya. Saat keinginan itu disampaikannya kepada ibunya, Diang Wangi tidak melarang atau mengiyakan.

“Kita rundingkan dahulu dengan Julak-mu. Sebab, selama ini Julak-lah yang mendidik dan merawatmu. Julak sudah seperti ayahmu,” jawab ibunya. “Nanti niatmu Bunda sampaikan.”

Arya mengiyakan.

Malam harinya, Arya dipanggil Julak-nya, Datu Magat. Jantungnya berdebar-debar menantikan jawaban.

“Kalau niatmu seperti itu, Julak tak bisa melarang. Engkau telah dewasa. Julak yakin dengan ilmu yang kau miliki. Ke manapun pergi, kau tidak akan kelaparan,” kata Datu Magat sambil menepuk bahu keponakannya yang bersimpuh di hadapannya.

Arya merasa lega.

Datu Magat melirik Diang Wangi yang juga bersimpuh di samping anaknya. Gurat kesedihan tergambar di wajah adik kandungnya itu.

“Diang…”

“Pun , Kakak…,” sahut Diang.

“Ibarat burung, anakmu sudah punya sayap. Wajar kalau sekarang ia ingin menggunakan sayapnya untuk terbang, ke mana pun, termasuk untuk mencari ayahnya,” sahut Datu Magat. Pandangannya kembali diarahkan kepada Arya. “Dan, kau, Arya, untuk mencari ayahmu, mungkin kau harus madam cukup lama. Ilmumu belum cukup…”

Datu Magat menahan kata-katanya, membuat hati Arya berdebar. Ia tak dapat membayangkan hal-hal yang akan ditemuinya di perantauan. Ia belum punya arah tujuan. Arah kepergian ayahnya itulah satu-satunya petunjuk. Tapi, hati kecilnya berkata, “Percuma aku dijuluki Arya Tadung Wani, kalau tidak berani pergi,” pikirnya.

“Lalu, apa lagi, Julak? “ tanya Arya.

Datu Magat menyuruh Diang Wangi mengambil lima lembar daun sirih yang harus dipetik dengan tangkainya.

Sementara Diang wangi pergi, Datu Magat melanjutkan petuahnya. “Di perantauan nanti, kau tidak hanya akan menghadapi alam, tapi juga masuk kampung, keluar kampung, dengan adat istiadat berlainan. Bertemu orang-orang dengan sifat dan tabiat bermacam-macam. Agar selamat, kau harus memiliki lima sifat utama…”

“Pertama, jangan sombong. Pandai-pandailah membawa diri. Jujurlah dalam perbuatan. Hindari menggunjing orang lain. Kedua, kalau bicara dengan yang lebih tua, atau dituakan, jangan kasar.

“Ketiga, dalam musyawarah jangan suka memotong pembicaraan orang lain. Dengarkan dahulu perkataan orang, hargai pendapat orang, baru mengemukakan pendapat sendiri. Keempat, bersikaplah seperti keris. Jangan salah menggunakannya. Pelihara dan asahlah selalu. Keris itu ibarat ilmu. Ilmu yang kita miliki dapat meningkatkan derajat dan wibawa kita. Itu sebabnya, keris selalu menjadi pelengkap pakaian pembesar kerajaan. Lambang kebesaran dan wibawa. Jadilah orang yang disegani, bukan ditakuti.

“Kelima, jadikanlah dirimu seperti bajak. Bajak adalah alat bertani. Dengan bajak, kita menggarap ladang. Bajak digunakan untuk mempersiapkan lahan. Makin luas lahan yang dibajak, makin banyak yang bisa ditanam, banyak pula hasilnya. Tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala sesuatu….”

Datu Magat berdiri, mengambil sebuah cupu dari peti kayu tua, dan secarik kain kuning selebar sapu tangan, lalu memotong tangkai daun sirih yang diserahkan Diang Wangi.

Datu Magat menggoreskan gagang sirih itu di tengah kain kuning, membentuk lingkaran dengan lima pancaran, seperti gambar matahari yang bersinar. Kemudian, memotong lagi setangkai daun sirih, menggambar dua buah tanduk kepala kerbau yang diletakkan pada salah satu garis pancaran. Tangkai sirih kedua membentuk gambar burung pada pancaran berikutnya. Tangkai sirih ketiga, bergambar gamelan. Tangkai sirih keempat, gambar keris, dan tangkai sirih yang kelima gambar tajak . Kelima gambar itu melingkari gambar matahari yang bersinar.

Diang Wangi dan Arya Tadung Wani yang mengamati, tapi tak mengerti, memberanikan diri bertanya:

“ Apakah ini rajah ?” tanya Diang Wangi

“Atau, jimat?“ timpal Arya.

Datu Magat melipat kain kuning bergambar itu, memasukkannya ke dalam cupu, lalu menjawab, bahwa gambar yang dibuatnya bukan rajah. Tapi, kalau mau dibilang jimat, boleh jadi. Gambar itu adalah lambang lima keutamaan, untuk menjaga keselamatan, yang disampaikannya tadi.

Datu Magat belum mengenal baca tulis. Cupu kecil seukuran buah jambu itu disumpalnya dengan empulur kayu pulantan, lalu diserahkannya pada keponakannya. Cupu keramik itu diberinya nama “Cupu Astagina”.

***

Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali Arya Tadung Wani bersujud mencium tangan dan kaki ibundanya dan Datu Magat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi mencari ayahnya.

Dengan bekal secukupnya, Arya Tadung Wani melangkahkan kaki kanannya lebih dahulu, berjalan ke arah matahari terbit, mengikuti petunjuk ayahnya. Di tengah perjalanan, ia singgah dan bertanya pada kerabat ibunya bernama “Ma Bu’un” . Lalu, singgah lagi di kediaman “Ma Burai” , dan di kediaman “Ma Ridu” . Sudah tiga kerabat disinggahinya, tapi ia belum mendapat titik terang.

Lalu, ia melanjutkan perjalanan ke “daerah atas”, melewati Gunung Jajar Walu, Gunung Kakait, hingga Upau. Di situ, ia menemui jalan buntu. Tanpa lelah dan putus asa, ia naik ke puncak tertinggi Pegunungan Meratus, membuat janur pucuk enau dan mengikatkannya di pucuk pohon tertinggi. Saat diterpa angin kencang, janur enau itu roboh. Mengikuti arah robohnya janur, ia menentukan tujuan berikutnya.

Nun di kejauhan, terlihat kepulan asap, yang menandakan permukiman penduduk. Arya ingat pesan Julak-nya tentang “lima sifat utama”, yang tertuang dalam cupu manik “Astagina”. Ia bimbang: pulang kembali ke kampung halaman, atau meneruskan perjalanan? Dalam ragu, ia duduk bersila di bawah sebatang pohon besar, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikiran dan bersemedi.

Saat itulah, tiba-tiba di hadapannya hadir sesosok pria kekar bertubuh raksasa dengan kulit bersisik. Arya berusaha menyapa, tapi lidahnya kelu. Ia menggerakkan tangan untuk menyentuh raksasa itu, tapi tak mampu.

Akhirnya, makhluk raksasa itu mengatakan, bahwa ia adalah ayah kandung Arya Tadung Wani. Arya Tadung Wani tak dapat menyentuh jasad ayahnya, karena telah berbeda alam. Ayahnya berpesan, agar Arya tetap meneruskan perjalanan, akan melindunginya selama dalam perjalanan, dan akan membantunya saat diperlukan.

Konon, Arya Tadung Wani kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Simpur, Kandangan , bermukim di Kampung Pelajau hingga wafat, dan dimakamkan di Jajuluk, Pelajau Hulu .

***


0 Response to "Legenda Arya Tadung Wani"

Post a Comment