Resensi Buku: Psikologi tentang Pengalaman Religius

Resensi Buku: Psikologi tentang Pengalaman Religius



Judul Buku : Psikologi Tentang Pengalaman Religius
Penerbit : IRCiSoD
Penulis : Abraham Maslow
Penerjemah : Afthonul Afif
ISBN : 978-623-6699-56-0
Jumlah Halaman: 152
Harga : Rp. 60.000


Bagi Anda yang pernah berkenalan dengan mazhab psikologi humanisme pasti sudah kenal dengan salah satu pendirinya yaitu Abraham Maslow. 

Kali ini kita akan membahas salah satu karyanya yang berjudul Psikologi Tentang Pengalaman Religius. Dalam buku ini kita diajak untuk memahami bagaimana psikologi humanisme memandang pengalaman-pengalaman religius terjadi disamping tergerusnya peran agama dan spiritual oleh dunia modern.

Abraham Maslow yang terkenal akan teori Hirearki Kebutuhan (Hierarcy of Needs) ini punya banyak karya dalam bidang psikologi seperti Toward a Psychology of Being (1968), Motivation and Personality (1954 dan 1970), dan The Further Reaches of Human Nature (1971).


Sains dan Agama yang Terkotak-kotak

Dalam buku ini, Maslow merasa bahwa sains dan agama makin jauh satu sama lain seiring berkembangnya zaman. Sains menolak agama karena tidak bisa membuktikan fakta menurut metode-metode ilmiah keilmuan dan agama menolak sains karena merusak nilai-nilai yang telah diajarkan. Keduanya akhirnya berada disisi masing-masing saling bertentangan.

Sains yang berada dikotak sendiri merasa agama sudah tidak relevan sehingga membuang nilai-nilainya jauh-jauh. Hal tersebut membuat sains menjadi sangat mekanistik, positivistik dan mereduksi nilai-nilai termasuk kemanusiaan.

Sedangkan agama yang jauh dari sains juga memperburuknya dengan membuatnya menolak fakta-fakta ilmiah dan membuatnya menjadi tidak bisa berkembang dengan zaman. 

Agama-agama yang tidak dapat menerima fakta ini dapat membuatnya dianggap kolot dan kaku sehingga agama itu terjebak pada doktrinnya yang mengekang.


Pengalaman "Religius-Inti" atau Pengalaman "Transenden"

Maslow berpendapat bahwa inti dari banyak ajaran-ajaran dari setiap agama terletak pada pengalaman transenden yang bersifat pribadi, sunyi, dan berbentuk pencerahan personal, pewahyuan, atau ekstase dari sejumlah nabi atau ahli nujum yang sangat peka. 

Pertama-tama kita harus memaknai pengalaman transenden ini sebagai fenomenologi dan menganggap pengalaman transenden memiliki hakikat dan bentuk yang sama walaupun dari agama yang berbeda-beda.

Pengalaman transenden ini tidak harus berupa pengalaman-pengalaman mistis di luar nalar namun juga peristiwa kecil yang dimaknai mendalam seperti seorang ibu yang takjub dan dilanda cinta atas bayinya yang baru lahir dan rasa terpukau akan bagian-bagian tubuh bayinya tidak terkira sehingga dia merasa terpesona dan memaknai hidup secara menyeluruh. 

Hal-hal pemaknaan hidup yang membuat seluruh dunia seakan indah dari pemaknaan hal-hal kecil adalah salah satu aspek pengalaman transenden atau pengalaman religius inti.

Dalam buku ini juga Maslow membagi dua macam orang terkait dengan seringnya dia mengalami dan memaknai pengalaman transenden atau religius, yakni orang peaker dan non-peaker.

Orang peaker merupakan orang yang dengan sadar mengalami pengalaman religius dan dia mengakuinya, biasanya dia punya kepekaan yang luar biasa dan emosi yang kuat.

Sedangkan non-peaker merupakan orang yang tidak atau jarang mengalami pengalaman transenden atau religius. Biasanya dia berpikiran logis dan mekanistik hingga dia hanya melihat berbagai hal dari cara kerjanya saja bukan dari maknanya. 

Para non-peaker ini bukan berarti orang yang tidak beragama tapi banyak diantara mereka yang malah menjadi para pemimpin agama sehingga banyak agama mementingkan ritus daripada pengalaman puncak religius dari agama tersebut.


Bahaya- Bahaya Organisasi bagi Pengalaman Transenden

Agama yang terorganisir secara kompleks dan ketat menurut Maslow malah membuat pengalaman-pengalaman religius menjadi sulit berkembang. 

Hal ini disebabkan agama terorganisir sangat menentang berbagai pengalaman transenden yang berasal dari selain Nabi atau pendiri agama tersebut. Kebanyakan pengalaman transenden yang bertolak belakang dari ajaran agama itu akan dianggap bid'ah dan dilarang.

Maslow juga menemukan kesan bahwa banyak dari orang-orang religius nonteis yang memiliki pengalaman religius yang lebih banyak dari orang yang mengikuti agama yang terorganisir segara ketat. 

Hal ini mungkin dikarenakan orang religius nonteis tersebut tidak terikat pada organisasi agama yang punya nilai-nilai dan ritus konvensional sehingga lebih bebas melekatkan diri pada nilai-nilai dan hakikat universal secara bebas dan personal. 

Dunia modern yang selalu membanggakan segala hal futuristik terkadang lupa akan nilai-nilai religius yang membawa mereka pada kondisi meaninglessness, anhedonia,dan neurosis karena kesuksesan.

Di buku ini Maslow coba menjelaskan B-Value atau nilai ada (Being) yang telah banyak kita temukan di teorinya khususnya teori hirearki kebutuhannya. 

Mungkin agak sulit dipahami oleh para pembaca yang bukan berlatarbelakang psikologi atau belum berkenalan mazhab-mazhab psikologi, tapi Maslow cukup jelas membawakan materinya agar mudah dipahami.

Bagi kamu yang ingin mendalami lagi mazhab psikologi ketiga mestinya buku ini sanggatlah recommended buat kamu. Juga buat kita yang ingin tahu pendekatan psikologis dari pengalaman transenden atau religius dan ingin memaknai hidup, maka buku ini layak dibaca.

0 Response to "Resensi Buku: Psikologi tentang Pengalaman Religius"

Post a Comment