Merawat Jiwa di Antara Rak-Rak Buku
Halo, Sobat Pustaka, di balik senyum ramah saat menyapa pengunjung, di antara buku-buku yang tersusun rapi di rak, dan di tengah riuhnya agenda literasi yang tak pernah sepi, kita sering lupa: siapa yang menjaga sang penjaga pengetahuan? Ya, kita, para pustakawan. Bekerja di dunia sunyi tapi sibuk ini memang kadang membuat kita tenggelam dalam rutinitas. Mulai dari katalogisasi hingga mendampingi murid-murid belajar membaca, energi kita terus terkuras. Tapi bagaimana dengan perawatan untuk diri sendiri—terutama kesehatan mental dan spiritual?
Mari kita mulai dari hal paling sederhana: syukur. Coba deh, sebelum membuka pintu perpustakaan tiap pagi, tarik napas dalam-dalam dan pikirkan satu hal yang kamu syukuri hari itu. Mungkin aroma kopi hangat, senyum anak-anak yang akan datang, atau hanya karena kamu masih diberi kesehatan. Sekilas terdengar klise, tapi percaya deh, rasa syukur yang konsisten bisa membungkus harimu dengan ketenangan yang sulit dijelaskan. Saat hari mulai padat, jangan lupa bernapas dengan sadar. Di balik meja layanan, sisipkan satu-dua menit untuk praktik pernapasan 4-7-8. Tarik napas empat detik, tahan tujuh detik, lalu hembuskan perlahan selama delapan detik. Rasanya seperti tombol “refresh” untuk pikiran yang kusut.
Baca Juga:
Sisi Buruk Penggunaan Air Fryer
Refleksi Hari Kesehatan Nasional 12 November
Kamu juga bisa luangkan waktu sejenak di sela jam kerja untuk zikir atau meditasi ringan. Bahkan membaca dengan tenang di sudut ruang baca bisa menjadi bentuk kontemplasi. Kehadiran buku itu sendiri sudah seperti sahabat yang setia menemani, bukan? Lalu, bagaimana jika kamu mulai merasa berat dengan hiruk pikuk berita negatif? Jangan ragu untuk membatasi konsumsi media. Tidak semua berita perlu kita ikuti detik per detik. Pilih informasi yang membangun, bukan yang meruntuhkan semangat.
Jangan lupa pula untuk menulis jurnal. Pustakawan biasanya dekat dengan tulisan, kan? Tapi menulis untuk diri sendiri itu beda. Ini bukan laporan kegiatan, tapi surat cinta untuk diri kita sendiri. Tuliskan kegelisahan, kebahagiaan, atau sekadar hal-hal lucu yang terjadi hari itu. Percayalah, ini bisa menjadi terapi yang menenangkan.
Dan kapan terakhir kamu menghabiskan waktu di luar ruangan? Berjalan di taman atau sekadar duduk di bawah pohon rindang bisa membuat energi kita kembali terisi. Bahkan perpustakaan bisa membuat pojok “alam” kecil di halaman belakang, tempat kamu (dan pengunjung) bisa sekadar menghirup udara segar.
Sebagai pustakawan, kamu juga pasti paham pentingnya hubungan sosial. Jadi, jalinlah komunikasi dengan sesama pustakawan. Obrolan ringan, curhat singkat, atau berbagi ide kreatif bisa jadi penguat semangat. Kita tidak sendiri. Yang terakhir dan paling penting: jangan lupakan me time. Baca buku yang kamu sukai bukan untuk dibedah atau diresensi, tapi sekadar untuk dinikmati. Dengarkan musik. Nikmati camilan favorit. Tertawa. Menangis. Nikmati hidup.
Sobat pustaka, sebelum kita kembali menyusun buku dan membuka jendela dunia untuk orang lain, pastikan dulu bahwa jendela jiwa kita sendiri tetap terbuka. Dirimu berharga. Jangan hanya menjadi penjaga ilmu—jadilah juga penjaga dirimu sendiri.
0 Response to "Merawat Jiwa di Antara Rak-Rak Buku"
Post a Comment