Angkutan Truk dan Duka yang Tak Pernah Kita Inginkan
Halo, Sobat Pustaka. Sepekan terakhir, linimasa kita
dipenuhi kabar duka yang menyayat hati. Tidak hanya soal angka korban, tetapi
tentang siapa mereka dan betapa dalam kehilangan yang kita rasakan. Di jalanan
menurun Desa Kalijambe, Purworejo, terjadi tragedi memilukan—sebuah truk
bermuatan pasir menghantam angkot yang membawa rombongan guru dari SDIT Asy
Syafiiyah, Kota Magelang. Dua belas jiwa melayang, belasan anak didik kini
harus kehilangan guru-guru terbaik mereka, dan kita semua kehilangan teladan.
Peristiwa ini lebih dari sekadar kecelakaan. Ia adalah
cermin retak yang memantulkan begitu banyak persoalan klasik yang belum kita
selesaikan. Truk yang disebut-sebut mengalami rem blong itu, menurut hasil
penyelidikan awal, ternyata tidak tercatat dalam sistem uji kelayakan KIR.
Artinya, kendaraan itu seharusnya tak layak berada di jalan raya, apalagi di
jalur curam yang berisiko tinggi. Pertanyaannya: bagaimana bisa kendaraan
seperti itu lolos? Di mana pengawasan dan penegakan hukumnya?
Sobat Pustaka, kita tidak sedang berbicara tentang
nasib buruk atau takdir yang datang tiba-tiba. Ini bukan soal "waktunya
sudah tiba" seperti yang kadang kita dengar untuk menenangkan duka. Ini
soal kelalaian sistemik. Kasus semacam ini bukan yang pertama, dan bisa
dipidana berat jika terbukti ada kelalaian berlapis. Bila perusahaan angkutan
mengoperasikan kendaraan tanpa izin teknis atau memodifikasi sistem pengereman
tanpa persetujuan, maka mereka bisa dijerat Pasal 359 KUHP karena menyebabkan
kematian karena kelalaian.
Baca Juga:
Tragedi
Truk Tabrak Angkot Rombongan Guru di Purworejo, 12 Orang Meninggal
Di sisi lain, tragedi ini sebagai gambaran nyata
ketimpangan perhatian terhadap pekerja sektor pendidikan. Kita kehilangan
orang-orang yang selama ini tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dengan
hati dan iman. Sayangnya, keselamatan mereka di perjalanan justru tidak menjadi
perhatian utama. Ada yang tidak beres dalam cara kita memperlakukan para
pendidik—mereka rela mengabdi di pelosok, namun pulang dari tugas mulia justru
dalam peti jenazah.
Pemandangan duka yang membungkus sekolah mereka hari
itu sungguh memilukan. Bangku-bangku kosong. Papan tulis yang masih tertulis
“materi hafalan”. Murid-murid termenung, sebagian belum mengerti sepenuhnya apa
yang terjadi. Upacara penghormatan berlangsung hening, hanya suara tangis yang
kadang terdengar, memecah suasana.
Sobat Pustaka, tragedi ini seharusnya menyentil
kesadaran kita bersama. Tidak cukup dengan hanya mengucap turut berduka. Kita
butuh evaluasi menyeluruh atas sistem transportasi barang yang selama ini
longgar dan nyaris tanpa pengawasan. Kemenhub memang telah bersuara akan
menindak. Namun janji tanpa pengawasan adalah ilusi belaka. Kita sudah terlalu
sering melihat peristiwa seperti ini berulang, dengan pelaku dan korban yang
hanya berganti nama.
Sementara itu, masyarakat berinisiatif sendiri,
melakukan penggalangan dana, membangun monumen kecil di titik kecelakaan, dan
mengusulkan nama-nama guru itu diabadikan sebagai nama jalan atau taman. Bentuk
penghargaan sederhana, tapi penuh makna.
Mari kita jaga memori mereka agar tidak hilang begitu
saja dalam arsip berita minggu ini. Jadikan kisah duka ini sebagai pelajaran
bersama—bahwa keselamatan bukan hal sepele, dan para guru, para pendidik, layak
mendapat perlindungan yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih.
Baca Juga:
0 Response to "Angkutan Truk dan Duka yang Tak Pernah Kita Inginkan"
Post a Comment