Habib Basirih, Sang Wali yang Membaca Koran Terbalik

Habib Basirih, Sang Wali yang Membaca Koran Terbalik

Sobat pustaka, bila kita menyusuri lorong-lorong sejarah Tanah Banjar, akan kita temukan cahaya-cahaya sunyi yang tak pernah padam. Salah satunya datang dari sebuah nama yang menggema dari tepian Sungai Martapura hingga ke pelosok dunia Islam—Habib Hamid bin Abbas Bahasyim, atau yang lebih akrab disapa Habib Basirih. Sosok ulama karismatik ini bukan hanya menyisakan jejak spiritual, tetapi juga menyulam kisah yang tak lekang oleh waktu, hingga kini masih kerap dibincangkan, diziarahi, dan dikenang oleh umat Islam dari penjuru negeri.

Habib Basirih bukan sembarang tokoh. Ia adalah dzurriyat Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan yang jelas dan mulia, generasi ke-36 dari sang Nabi, melalui jalur Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Bahkan, dalam jejak nasabnya, beliau masih memiliki keterkaitan darah dengan Sunan Ampel—salah satu Wali Songo—walau melalui jalur putra yang berbeda. Satu melalui Abdul Malik, satu lagi melalui Abdurrahman. Inilah yang membuat keberadaan Habib Basirih bukan hanya dihormati di Tanah Banjar, tetapi juga dianggap bagian dari mata rantai dakwah Islam yang luhur dan bersambung.

Namun, Sobat pustaka, yang membuat kisah Habib Basirih begitu memikat bukan sekadar garis keturunannya yang bersinar, melainkan karena jalan hidupnya yang penuh tirakat, simbolisme, dan misteri. Ia memilih jalur sunyi sebagai penyampai kebenaran. Pernah selama bertahun-tahun beliau mengurung diri dalam gubuk kecil di Basirih—sebuah tempat yang kini menjadi pusat ziarah ribuan orang. Di sanalah ia berkhalwat, hanya menyantap sekepal nasi dan segelas kopi setiap harinya, dalam balutan kelambu kuning. Sebuah praktik yang tak banyak dipahami, tetapi justru menjadi gerbang menuju pemahaman lebih tinggi tentang keikhlasan dan kedekatan dengan Tuhan.

Baca Juga:

Peran Syekh Abu Thalhah dalam Penyebaran Islam di Kalimantan Timur

Pada masa penjajahan Jepang, Habib Basirih keluar dari khalwatnya dan menunjukkan tanda-tanda karomah yang membuat banyak orang terdiam takjub. Siapa yang menyangka, mengguyur air dengan gayung dari satu tempat ke tempat lain—yang dianggap pekerjaan aneh oleh sebagian orang—ternyata menjadi isyarat penyelamatan kapal penumpang yang hampir karam di tengah laut? Dan ternyata benar, ada saksi yang datang kemudian mengucapkan terima kasih kepada Habib Basirih, sebab kapal mereka terselamatkan.

Tak hanya itu, Sobat pustaka. Ada pula kisah ketika beliau menyeberangi sungai hanya dengan duduk di atas tanggui, penutup kepala khas Banjar yang terbuat dari daun nipah. Perjalanan ini dilakukannya untuk menengok keponakannya. Siapa yang tak terperangah menyaksikan itu? Tapi bagi mereka yang percaya, itu bukan sihir atau muslihat, melainkan karunia—karomah—seorang kekasih Allah.

Salah satu cerita yang paling dikenang datang dari tahun 1965. Saat itu, Habib Basirih kedatangan tamu yang mendapati beliau sedang membaca koran… tapi terbalik. Anehnya, beliau lalu bergumam pelan: “Raja akan digulingkan.” Beberapa bulan kemudian, sejarah mencatat runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Sebuah ucapan yang mungkin saat itu hanya terdengar sebagai gumaman, ternyata menjelma kenyataan besar dalam sejarah bangsa.

Tak hanya dewasa, anak-anak pun mendapatkan bagian dari sentuhan spiritual Habib Basirih. Banyak keluarga membawa anak mereka untuk meminta air berkah kepada beliau, agar anak-anak mereka pandai mengaji. Dan betul saja, banyak di antara anak-anak itu kemudian menjadi penghafal Al-Qur’an, bahkan guru ngaji yang mengajarkan cahaya Islam di berbagai pelosok Kalimantan.

Baca Juga:

Kehidupan dan Dakwah Syekh Datu Ahmad di Balimau Kandangan

Dan bagaimana pula dengan kisah benang layang-layang? Sebuah benda yang tampak sepele, namun bagi Habib Abdul Kadir Bahasyim, itu menjadi lambang hidupnya—panjang dan penuh perjalanan, sebab ia kemudian berlayar menjelajahi pedalaman Kalimantan sebagai awak kapal dagang. Itulah Habib Basirih. Tak banyak bicara, tapi tiap geraknya penuh makna.

Kini, bila Sobat pustaka berkunjung ke Banjarmasin dan menyebut nama "Kubah Habib Basirih", hampir setiap warga akan sigap menunjukkan arah. Kubah itu bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir seorang wali, tapi telah menjelma menjadi mercusuar spiritual, yang setiap harinya ramai diziarahi. Bahkan, tak sedikit peziarah datang dari negeri Timur Tengah hanya untuk menengok tempat ini—karena mendengar keharuman nama Habib Basirih yang tak kunjung sirna.

Beberapa ratus meter dari kubah itu, terbaring pula ibunda tercinta beliau, Syarifah Sya’anah. Dua makam ini menjadi tujuan utama peziarah, terutama calon jamaah haji yang datang memohon doa dan berkah sebelum berangkat ke tanah suci. Dan seperti kata pepatah Banjar: “Basirih adalah Bahasyim dan Bahasyim adalah Basirih.” Sebuah pengakuan, bahwa dari Basirih, terpancar cahaya yang tak padam—cahaya keluarga habaib yang mengakar kuat di Bumi Kalimantan.

Baca Juga:

Abdullah Mahdi, Siswa Inspiratif dari SDN 2 Barabai Darat

 

0 Response to "Habib Basirih, Sang Wali yang Membaca Koran Terbalik"

Post a Comment