Ketika Angkutan Truk Menghantui Kalimantan Selatan
Halo, Sobat Pustaka. Beberapa waktu terakhir, jalanan
Kalimantan Selatan khususnya poros antara Kabupaten Tabalong hingga Hulu Sungai
Tengah terasa makin sesak. Tapi bukan karena pertumbuhan ekonomi atau geliat
pariwisata, melainkan oleh hilir-mudiknya truk-truk tambang dan kendaraan berat
yang seolah tak pernah tidur. Dan sayangnya, bukan hanya debu dan kebisingan
yang mereka tinggalkan, tetapi juga duka. Kecelakaan demi kecelakaan telah
terjadi, dan tak jarang nyawa menjadi korban.
Beberapa waktu terakhir, laporan
kecelakaan akibat truk tambang serta Truk Kontainer semakin sering muncul.
Mulai dari truk terguling di tanjakan, rem blong di jalan menurun, hingga
tabrakan maut yang menimpa warga biasa. Dalam banyak kasus, korban bahkan tidak
pernah tahu bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir mereka. Dan ironisnya, sebagian
besar dari kasus itu menguap begitu saja tanpa penindakan yang jelas.
Sobat Pustaka, kita semua tahu bahwa aktivitas tambang
memang menjadi denyut ekonomi Kalimantan. Tapi jika demi keuntungan itu jalanan
berubah menjadi kuburan berjalan, apakah itu sepadan? Seharusnya ada
keseimbangan antara pembangunan dan keselamatan warga.
Mirisnya, beberapa kendaraan berat yang beroperasi di
jalur ini juga diketahui tidak lolos uji KIR atau telah mengalami modifikasi
demi membawa muatan lebih banyak. Hal ini mengingatkan kita pada tragedi
nasional seperti yang terjadi di Purworejo—yang bukan tidak mungkin akan
terulang di tanah Banua jika kita tidak segera bersikap tegas.
Baca Juga:
Angkutan
Truk dan Duka yang Tak Pernah Kita Inginkan
Sobat Pustaka, sebenarnya aturan sudah bicara.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan
jelas menyebutkan bahwa kendaraan bermuatan besar harus melalui jalan khusus
yang sesuai dengan fungsi dan kelas jalannya. Pasal 162 bahkan menekankan
larangan pengoperasian kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan
laik jalan. Tapi apa daya, di lapangan, kita tahu praktiknya tak seindah
pasal-pasal itu.
Berbagai teori sosial menyebut bahwa ketika ruang
publik dikuasai oleh aktor-aktor ekonomi besar, maka masyarakat sipil menjadi
kelompok yang paling rentan. Ketimpangan akses terhadap keselamatan menjadi
nyata—yang kuat melintas, yang kecil menyingkir. Inilah yang terjadi di jalur
tambang Kalimantan Selatan: rakyat harus berbagi jalan dengan truk-truk
berperut besi yang tak mengenal toleransi ruang.
Sobat Pustaka, keselamatan bukanlah hal yang bisa
ditawar. Pemerintah daerah, aparat kepolisian, hingga perusahaan tambang harus
duduk bersama dan menyusun solusi konkret. Mulai dari pembatasan jam
operasional truk berat, jalur khusus tambang, hingga inspeksi mendadak atas
kelayakan kendaraan. Tak bisa lagi kita biarkan jalanan menjadi ajang taruhan
nyawa.
Jalan bukan sekadar tempat lalu lintas; ia adalah
ruang hidup bersama. Kita perlu desakan kolektif agar pemerintah tidak hanya
membangun jalan untuk truk, tapi juga merawat keselamatan manusia. Jalan khusus
tambang harus disegerakan. Pengawasan kelayakan kendaraan harus diperketat. Dan
yang tak kalah penting, suara masyarakat harus didengar, bukan disingkirkan.
Kita tidak ingin tragedi berikutnya hanya menjadi angka. Setiap kecelakaan harus menjadi pengingat, bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan yang paling lemah.
Baca Juga:
Tragedi Truk Tabrak Angkot Rombongan Guru di Purworejo, 12 Orang Meninggal
0 Response to "Ketika Angkutan Truk Menghantui Kalimantan Selatan"
Post a Comment