Syekh Jamaluddin al-Banjari
Hai Sobat Pustaka, pernahkah kalian berjalan-jalan ke
Sungai Jingah di Banjarmasin dan melihat sebuah kubah tua yang menyimpan
keheningan, namun terasa sarat wibawa? Di situlah bersemayam seorang ulama
besar yang menjadi penjaga lentera ilmu dan cahaya spiritual di masa sulit:
Syekh Jamaluddin al-Banjari, atau yang lebih dikenal sebagai Surgi Mufti.
Beliau bukan sosok biasa. Tak hanya darah ulama
mengalir dalam dirinya, tapi juga semangat juang dan cinta terhadap ilmu yang
luar biasa. Bayangkan saja, Syekh Jamaluddin adalah buyut dari Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, ulama besar Kalimantan yang namanya harum seantero
Nusantara. Sejak usia remaja, Syekh Jamaluddin sudah menuntut ilmu di tanah
suci, Makkah al-Mukarramah—tempat yang menjadi kiblat keilmuan Islam pada masa
itu.
Di Haramain, beliau berguru kepada banyak ulama besar,
memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadis, hingga ilmu falaq (astronomi Islam). Tak
heran jika saat kembali ke tanah Banjar sekitar tahun 1894, beliau sudah
menjadi bagian dari jaringan ulama internasional, membawa bekal ilmu yang tak
hanya dalam, tapi juga mencerahkan. Namun, tantangan besar pun menantinya.
Baca Juga:
Abdullah Mahdi, Siswa Inspiratif dari
SDN 2 Barabai Darat
Saat itu, Banjar tidak sedang dalam masa damai. Penjajahan Belanda mencabik-cabik kekuasaan Kesultanan Banjar. Pilihan di hadapan Syekh Jamaluddin pun tidak mudah. Apakah ia akan mengangkat senjata bersama para pejuang di bawah komando Pangeran Antasari, atau tetap berada di jalur dakwah, menyebar ilmu walau harus berdampingan dengan kekuasaan kolonial?
Pada tahun 1899, Belanda mengangkatnya sebagai Mufti.
Sebuah posisi penting yang, meski berada di bawah pemerintahan kolonial, justru
memberinya ruang untuk menegakkan syariah dan menjaga nilai-nilai Islam di
tengah masyarakat. Jabatan mufti saat itu bisa dikatakan setara dengan menteri
atau hakim agung—seorang penjaga hukum dan panutan umat.
Sebagai Mufti, Syekh Jamaluddin tidak hanya mengurus
perkara hukum agama. Ia juga dikenal sebagai ahli falaq yang mumpuni.
Perhitungan hilal untuk menentukan awal dan akhir Ramadan berada di tangannya.
Bahkan hal-hal seperti kapan waktu terbaik bercocok tanam, juga ditanyakan
padanya—karena pemahaman astronominya begitu luas dan dalam.
Kecerdasan dan spiritualitasnya menjadikan beliau
seorang yang dikagumi, bahkan disegani. Banyak yang menyebutkan bahwa beliau
memiliki karomah, kelebihan spiritual yang hanya dimiliki oleh para kekasih
Allah. Namun lebih dari itu, pengaruh beliau juga terasa dalam hal yang lebih
‘membumi’. Salah satunya adalah jasanya membuka jalur jalan dari Desa Dalam
Pagar menuju Kelampayan, akses penting yang dulu sangat dibutuhkan masyarakat.
Baca Juga:
Kiprah H. Aulia Oktafiandi dalam
Membangun Hulu Sungai Tengah
Tak hanya itu, beliau jugalah yang membuat atang
(cungkup makam) untuk datuknya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Cungkup yang
sampai sekarang menjadi tempat ziarah umat Muslim yang ingin meneladani jejak
ulama besar Kalimantan. Sungguh luar biasa, bagaimana seorang cucu bisa begitu
menghormati leluhurnya dengan karya nyata yang tak lekang oleh zaman.
Tanggal 8 Muharram 1348 Hijriah, bertepatan dengan
hari Sabtu sore menjelang Ashar, Syekh Jamaluddin wafat di Sungai Jingah. Ia
dimakamkan di kubah yang telah ia siapkan jauh hari sebelumnya. Tenang, di
tempat yang dikelilingi air, sunyi namun penuh doa.
Kini, Kubah Surgi Mufti di Sungai Jingah masih berdiri
tegak, menjadi saksi bisu perjalanan seorang ulama yang hidup di antara dua
zaman—antara penjajahan dan kebangkitan, antara kekuasaan dan dakwah, antara
langit ilmu dan bumi tempat berpijak.
Bagaimana, Sobat Pustaka? Kisah Syekh Jamaluddin
mengajarkan kita bahwa jalan perjuangan tidak selalu dengan pedang dan senjata.
Terkadang, dakwah yang sabar, ilmu yang dalam, dan komitmen menjaga umat juga
bisa menjadi bentuk perlawanan yang mulia.
Baca Juga:
Polemik Pendidikan, Saat Etika
Dipertanyakan
0 Response to "Syekh Jamaluddin al-Banjari"
Post a Comment