Ibnu Hajar Pejuang dari Borneo

Ibnu Hajar Pejuang dari Borneo

Generated image

Halo sobat Pustaka, siapa bilang perjuangan berakhir saat bendera Merah Putih dikibarkan dan penjajah angkat kaki? Di banyak pelosok negeri ini, justru konflik baru bermula. Di Kalimantan Selatan, ada nama yang menggema dari hutan ke hutan, dari bukit Meratus hingga ke ruang-ruang sunyi yang jarang dijamah sejarah formal: Ibnu Hajar, atau nama aslinya Haderi alias Angli.

Lahir di Ambutun, Telaga Langsat, Ibnu Hajar adalah anak dari pasangan Umar dan Hadijah, keturunan Banjar-Dayak Meratus—percampuran budaya yang mengakar kuat di jiwa perlawanan. Ketika masa revolusi berkobar dan Kalimantan bergolak melawan kolonialisme, ia memilih nama "Ibnu Hajar" sebagai identitas perjuangan, menyatu dalam barisan pejuang tanah Borneo.

Penampilannya mudah dikenali. Seragam loreng, topi baret bertali merah, dan dua pucuk pistol yang selalu siap di pinggangnya—ibarat simbol perlawanan yang tak mau tunduk. Tapi bukan hanya penampilan yang menjadikannya legenda. Semangatnya, keteguhan hatinya, dan keberpihakannya pada rakyat kecil menjadikan Ibnu Hajar tokoh yang disegani sekaligus ditakuti.

Setelah proklamasi dan pengakuan kemerdekaan, Kalimantan resmi bergabung dengan Indonesia. Tapi kenyataannya tak seindah janji. Bagi Ibnu Hajar, kemerdekaan belum benar-benar datang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana para pejuang lokal yang telah mengorbankan segalanya mulai tersisihkan. Pangkat-pangkat militer lebih banyak jatuh ke tangan orang-orang dari “pulau seberang” atau malah bekas tentara KNIL—mereka yang dulunya justru menjadi lawan di medan perang.

Baca Juga:

MENGENAL BUPATI TABALONG NOOR AIDI (1999 - 2004)

Batin Ibnu Hajar tak bisa menerima kenyataan ini. Ia melihat para sahabat seperjuangannya hidup dalam kemiskinan, bahkan diperlakukan seolah-olah tak pernah berjasa. Lalu lahirlah sebuah gerakan: Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT)—sebuah nama yang cukup untuk menjelaskan isi hatinya dan ribuan pasukan yang memilih jalur perlawanan kembali.

KRjT bukan sekadar pemberontakan. Ia adalah jeritan, luapan kekecewaan, dan usaha terakhir untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang merasa dikhianati. Tapi tentu saja, di mata pemerintah pusat, KRjT adalah ancaman. Operasi militer diluncurkan bertubi-tubi, logistik diputus, dan masyarakat dilarang membantu kelompok ini. Di balik semua itu, rumor dan fitnah terus dilemparkan untuk menciptakan jarak antara rakyat dan gerakan rakyat yang katanya “sudah menyimpang”.

Namun Ibnu Hajar bukan orang sembarangan. Ia tak mudah dipatahkan oleh senjata dan propaganda. Maka strategi berubah. Pemerintah mulai mengajak tokoh-tokoh yang dihormatinya untuk membujuk agar ia menyerah, dengan janji yang terdengar manis: akan disekolahkan militer di Jawa. Dan pada Juli 1963, Ibnu Hajar menyerah di tengah pesta rakyat yang dibuat megah—seolah kemenangan telah diraih dengan damai.

Begitu ia menyerah, janji tinggal janji. Ibnu Hajar justru ditangkap, diterbangkan ke Jakarta, dan diseret ke Mahkamah Militer. Tak ada sekolah militer. Tak ada pangkat. Yang ada hanyalah vonis mati dan regu tembak yang telah menanti. Pada tahun 1965, suara peluru mengakhiri hidup seorang pejuang yang pernah bermimpi adil itu nyata, dan tanah air bukan milik segelintir penguasa.

Baca Juga:

MENGENAL BUPATI TABALONG DANDUNG SUCHROWARDI (1984 - 1994)

 

Sobat pustaka, kisah Ibnu Hajar bukan cerita untuk menanamkan amarah, tapi justru menjadi refleksi. Bahwa sejarah bangsa ini tidak selalu hitam putih. Ada abu-abu yang panjang, yang kadang tak kita temukan dalam buku pelajaran. Ada tokoh-tokoh seperti Ibnu Hajar yang berjuang dengan caranya sendiri, dan yang tak sempat menikmati buah dari perjuangan yang ia rawat sejak awal.

Mungkin kita tak bisa mengubah apa yang terjadi di masa lalu. Tapi setidaknya, kita bisa mengingatnya. Menuliskan namanya. Mengajarkan kisahnya. Agar anak-anak Meratus tahu, bahwa dari tanah mereka pernah lahir seorang Ibnu Hajar—yang memilih melawan ketidakadilan, bahkan jika itu datang dari negeri sendiri.

Karena sejatinya, kemerdekaan bukan hanya soal bendera yang berkibar, tapi juga tentang siapa yang boleh berdiri di bawahnya dengan kepala tegak.

Baca Juga:

MENGENAL BUPATI TABALONG ISMAIL ABDULLAH (1979 - 1984)

 

0 Response to "Ibnu Hajar Pejuang dari Borneo"

Post a Comment