Legenda Gunung Halat

Karya: Loki Santoso



Di lembah hutan belantara yang dikelilingi pegunungan, bertapa pria bertubuh raksasa dan berpakaian kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman sekarang, lebar dadanya lima jengkal.

Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta petunjuk dewata, agar mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah 45 tahun, tapi belum juga mendapat jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga pada suatu hari:

”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini…?”

Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya getaran suara orang tua itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu tempatnya duduk.

Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan waspada. Siapa orang ini? Ini bukan orang sembarangan, batinnya

“Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada luasnya dunia, dalamnya laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Dengan siapa gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan.

“Aku penguasa hutan dan pegunungan di wilayah ini. Namaku Marlung!“ sahut orang tua itu dengan nada tinggi. ”Mengapa engkau di sini, tanpa seizinku?”

“Sekali lagi, maaf. Saya tidak tahu. Sudah bertahun-tahun saya bertapa di sini, tapi tak pernah bertemu seorang pun,” sahut Tilan. ”Saya pengembara dari negeri seberang.”

“Baiklah, anak muda. Engkau kumaafkan. Tapi, jawablah pertanyaanku dengan jujur. Apa tujuanmu bertapa di sini?”

“Saya mencari petunjuk tentang jodoh saya. Sebab, hingga kini saya belum bertemu jodoh.”

Orang tua bertubuh raksasa itu senang dengan kejujuran anak muda itu. ”Baiklah. Engkau kuizinkan bertapa di sini. Setelah dua belas purnama, aku akan kemari lagi.”

“Terima kasih,“ jawab Tilan.

Tanpa Tilan sadari, orang tua itu sudah menghilang.

Tilan duduk lagi di tempat semula untuk melanjutkan pertapaannya. Namun, pikirannya tak lagi terpusat pada tujuan semula, tapi pada orang tua tadi. Siapakah Marlung? Benarkah raksasa itu penguasa hutan dan pegunungan ini?

Yang membuat hatinya lega, ternyata masih ada orang berwujud raksasa seperti dirinya. Itu membuatnya berpikir, jika ada orang lain yang bertubuh sama besar dengannya, mustahil dewata tidak menciptakan orang lain dengan wujud sebesar itu, terutama yang berjenis kelamin perempuan.

***

“Hai, siapakah engkau…?”

Suara perempuan membangunkan Tilan dari pertapaannya.

Sembari menarik napas dalam, Tilan membuka mata dan menoleh ke arah suara itu. “Maafkan saya yang hina ini. Nama saya, Tilan. Ada apakah gerangan?“

“Sudah berapa lama engkau bertapa di sini? Apa yang kau cari?”

Seorang perempuan tua bertubuh raksasa, berbaju kulit kayu dan rambut awut-awutan, menghujani Tilan dengan pertanyaan.

“Saya mau mencari jodoh. Sudah tujuh belas purnama bertapa di sini. Maafkan jika tidak berkenan,” jawab Tilan.

“Baiklah, anak muda. Teruskanlah tapa bratamu. Semoga berhasil…”

Belum hilang suaranya, perempuan tua raksasa itu sudah lenyap dari pandangan.

Kedatangan perempuan tua raksasa itu membuat Tilan makin yakin, masih ada perempuan muda raksasa lainnya yang diciptakan dewata untuknya. Soalnya, dewata telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.

Pada suatu hari, telinga Tilan yang sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi di sekitarnya mendengar senandung kecil di antara suara burung dan dedaunan yang gemerisik ditiup angin. Penasaran, ia bangkit dari pertapaan dan menyusuri jalan, menyibak rimbun dedaunan dengan perlahan.

Langkah kakinya terhenti, saat mendengar senandung perempuan di balik rumpun bambu. Ia ingin tahu, siapa pemilik suara itu.

Sesaat Tilan terpaku. Rasa penasaran membuatnya mendekat dengan hati-hati, agar kehadirannya tak diketahui gadis cantik bertubuh raksasa berkulit bersih, berambut panjang, hitam dan legam, yang jika berdiri mungkin panjang rambutnya mencapai tumit.

“Siapa itu…?!” seru gadis raksasa itu saat melihat kehadiran Tilan.

“Maafkan aku. Suara nona yang merdu membuatku datang kemari. Suara nona ternyata secantik orangnya..,” jawab Tilan sambil menampakkan diri.

“Siapa kamu? Beraninya mengintipku? Apa maksudmu?”

“Namaku Tilan. Aku bertapa di lembah sebelah sana. Aku ingin minta petunjuk kepada dewata tentang jodohku. Nah, pertanyaan nona sudah kujawab. Sekarang, giliran nona. Siapa nona, dan dari mana?”

“Namaku Ambar, asalku di sebelah bukit ini. Orang tuaku bernama Mratung,” sahut perempuan itu dengan nada lunak.

Tilan lega, tapi kaget setelah tahu, bahwa gadis raksasa itu adalah putri orang tua raksasa yang pernah menemuinya. Saat mata Tilan beradu pandang dengan mata Ambar, dadanya berdegup kencang. Begitu pula Ambar. Wajah gadis raksasa itu bersemu merah, tertunduk malu tersipu-sipu.

“Ambaaar….!“

Suara yang nyaring dan menggelegar tiba-tiba memanggil nama gadis itu. Suara itu merontokkan dedaunan kering di atas pepohonan. Demikian nyaringnya suara itu, membuat sepasang muda-mudi yang sedang beradu pandang itu tersentak ke belakang, hingga jarak mereka berjauhan.

Belum hilang rasa kagetnya, Tilan dikagetkan lagi dengan kehadiran pemuda bertubuh raksasa berbaju kulit kayu. Pemuda itu berdiri tegap dan tegak, dengan mata kemerahan, langsung membentak, “Siapa kamu?!”

“Aku, Tilan. Anda sendiri, siapa?”

“Aku Marlung, putra Mratung, penguasa wilayah ini. Mengapa kau mengganggu adikku!?”

“Maaf, tapi aku tak melakukan apa-apa. Kami baru saja berkenalan.”

“Apa maksud kedatanganmu?!“

“Mencari jodoh. Tak disangka, di sini bertemu dengan keluarga bertubuh sama besar denganku, dengan anak gadisnya yang cantik.”

“Apa maksudmu?!”

“Aku ingin menyunting Ambar,” jawab Tilan terus terang.

Marlung tampak kurang senang. “Kami tinggal satu kelompok. Semuanya raksasa. Pergilah ke sebelah bukit sana, akan kau jumpai raksasa seperti kami. Di sana juga banyak gadis raksasa. Jika ingin menyunting adikku, kau harus adu ilmu denganku dulu. Agar kami tidak salah pilih. Engkau dari mana, keluarga siapa?!”

Tilan berpikir sejenak. Selama bertapa, hanya Ambar raksasa perempuan yang pernah ditemuinya. Jika perempuan itu memang jodohnya, adu kesaktian untuk mendapatkannya cukup sepadan.

“Baiklah. Aku yakin, Ambar adalah jodohku. Mari kita bertarung…”

Tilan dan Marlung kemudian adu kesaktian.

Bagi Ambar, menyaksikan pertarungan seperti itu sudah biasa. Sebab, ia dibesarkan dalam adat istiadat seperti itu. Pertarungan itu menumbangkan pepohonan, akibat terkena pukulan dan tendangan keduanya. Perkelahian mereka berlangsung siang-malam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Semakin lama, arena perkelahian mereka semakin meluas, mendekati lembah tempat Tilan bertapa.

Dalam satu kesempatan, keduanya mengeluarkan ilmu tingkat tinggi. Saat keduanya mengangkat tangan, keluar cahaya putih menyilaukan mata, lalu mereka melontarkannya dan beradu di udara. Hawa panas pukulan itu mengenai sebatang pohon besar. Pohon itu langsung hangus dan terbakar, terbelah dua dengan warna berbeda. Belahan pohon pertama yang berwarna merah roboh ke arah utara, yang kehitaman roboh ke selatan.

Saat pertarungan telah berlangsung tiga purnama dan mencapai puncaknya, mereka masing-masing mengeluarkan ilmu beralih rupa. Tilan berubah wujud, menjadi ikan bermulut lancip, dengan punggung berduri tajam tanpa sisik; sementara Marlung menjadi belut besar berkepala mirip ikan gabus, bertubuh bulat dan panjang.

Keduanya menceburkan diri ke dalam kolam. Di dalam kolam, keduanya membelit dan saling tusuk dengan senjata masing-masing. Air kolam keruh menjadi lumpur, bergolak dan mengeluarkan gelombang udara.

Saat itulah Mratung dan Ambar datang.

Mratung murka dan membentak keduanya agar menghentikan perkelahian. Namun, keduanya tak menghiraukan.

“Kalau kalian tak henti berkelahi, kalian takkan kembali ke wujud semula…!” seru Mratung.

Sambil mengangkat kedua tangannya, Mratung mengucapkan mantra. Tangannya mengeluarkan cahaya keemasan. Cahaya itu diarahkannya ke kolam. Air kolam yang semula keruh berlumpur dan bergolak, tiba-tiba menjadi tenang. Mratung memisahkan tubuh keduanya yang kelelahan, dan berkata, “Untuk selamanya, wujud kalian akan begini! Kalian harus pergi dari kolam ini!“

Dengan tubuh lemah lunglai, keduanya pergi meninggalkan tempat itu, masing-masing ke arah utara dan selatan, membuat jalan dengan sisa-sisa tenaganya. Dari jalan yang mereka buat, terbentuk dua aliran sungai. Sungai di utara kini dinamakan Sungai Maliri, yang banyak ikan malung-nya. Tapi, di sungai itu tidak ada ikan tilan. Sebaliknya, sungai di selatan kini dikenal sebagai Sungai Pupuh. Di dalamnya, banyak ikan tilan, tapi tak ada ikan marlung.

***

Dari cerita orang-orang tua, dahulu di perbatasan Gunung Halat ada pohon besar bercabang dua, yang berbeda jenis dan warna daunnya. Konon, itulah pohon yang pernah terbelah dua akibat perkelahian Tilan dan Marlung. Pohon itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang mempunyai ilmu kebatinan. Kini, daerah itu merupakan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan Selatan.

***


0 Response to "Legenda Gunung Halat"

Post a Comment