Aluh Idut, Sang Galuh Pejuang dari Kandangan

Aluh Idut, Sang Galuh Pejuang dari Kandangan

Gambar yang dibuat

Sobat pustaka, pernahkah kalian mendengar nama Aluh Idut? Jika belum, inilah saatnya kita menengok sejenak lembar sejarah yang penuh keberanian dan keteguhan hati dari seorang perempuan Banjar yang tak gentar menghadapi penjajah, bahkan ketika nyawanya jadi taruhan.

Namanya Siti Warqiah. Tapi masyarakat lebih mengenalnya dengan sapaan akrab “Aluh Idut.” Dalam budaya Banjar, “Aluh” berasal dari kata “Galuh” yang menjadi panggilan kesayangan untuk perempuan, sementara “Idut” konon datang dari ciri fisiknya yang montok, menjadikannya nama penuh kasih yang menyiratkan kedekatan rakyat dengannya. Tapi jangan tertipu oleh kesan manis dari namanya, sebab di balik panggilan itu tersimpan sosok pejuang gigih yang tidak bisa diremehkan.

Aluh Idut bukanlah perempuan biasa yang hidup dalam bayang-bayang zaman kolonial. Sejak muda, ia sudah menentang pandangan umum yang menyebut bahwa “urusan perang itu urusan lelaki.” Baginya, membela tanah air bukan soal jenis kelamin, tapi soal keberanian dan cinta terhadap negeri. Dan cinta itu sudah tumbuh dari dongeng-dongeng sebelum tidur yang dituturkan ibunya, Siti Murah, tentang sang kakek, H. Martajiwa, seorang pejuang tangguh di barisan Sultan Muhammad Seman. Kisah-kisah kepahlawanan itu rupanya membentuk jiwa Aluh Idut yang tak mudah tunduk pada penindasan.

Baca Juga:

Mengenal Sosok Guru Muda Haji Ahmad Barmawi Kulur

Tahun 1946, ketika Kalimantan bergolak melawan penjajahan, Aluh Idut memilih jalannya: bergabung bersama ALRI Divisi IV “A” Pertahanan Kalimantan Selatan. Bukan hanya sebagai simbol saja, ia benar-benar terjun ke medan perjuangan, menjadi pemasok senjata ke pedalaman Kalimantan. Bayangkan, di tengah medan yang berat dan pengawasan ketat kolonial, seorang perempuan muda bergerak dalam senyap, menyusuri jalan-jalan terjal dan sungai-sungai panjang demi menyuplai senjata kepada para pejuang.

Namun perannya tak hanya sebatas di belakang layar. Aluh Idut dikenal sebagai orator ulung. Dengan pidatonya yang penuh semangat, ia mampu menggugah massa, menyalakan bara perlawanan, dan membangun semangat rakyat. Sayangnya, justru karena kemampuannya itu pula, ia menjadi incaran penguasa kolonial. Tahun 1948, Aluh Idut ditangkap. Bukan sekadar ditahan, ia diinterogasi, disiksa, bahkan disetrum demi memaksanya membocorkan lokasi markas para pejuang. Tapi, Sobat Pustaka, semangat perempuan Banjar ini tak bisa dipatahkan. Ia bungkam seribu bahasa, bahkan ketika bahunya patah akibat siksaan.

Tahun 1949, setelah Perundingan Munggu Raya, dan ketika ALRI Divisi IV resmi diakui sebagai bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia, Aluh Idut akhirnya dibebaskan. Tubuhnya mungkin telah luka, tapi semangatnya tetap menyala. Ia kembali berkeliling Kalimantan Selatan dan Tengah, meresmikan markas-markas perjuangan dan mengokohkan semangat republik.

Baca Juga:

Mengenal Lambung Mangkurat

Namun, perjuangan fisik tentu ada batasnya. Tubuh Aluh Idut yang sudah terlalu lama menahan derita dan luka akhirnya tak mampu lagi bertahan. Ia wafat pada 5 Februari 1958, dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Kandangan. Tetapi kisahnya tak pernah benar-benar mati.

Sebagai bentuk penghargaan negara terhadap pengorbanannya, Aluh Idut dianugerahi Bintang Gerilya dan pangkat Letnan Satu secara anumerta oleh Presiden Republik Indonesia. Sebuah penghormatan yang sepadan dengan dedikasi dan keberaniannya.

Sobat pustaka, Aluh Idut adalah contoh nyata bahwa perjuangan tidak mengenal batas. Ia menunjukkan bahwa perempuan bisa dan mampu berdiri di garis depan perlawanan, sama kuatnya dengan laki-laki. Ia bukan hanya simbol keberanian, tetapi juga teladan tentang bagaimana semangat juang bisa tumbuh dari dongeng masa kecil, dari rasa cinta terhadap tanah air, dan dari keyakinan bahwa merdeka adalah hak setiap insan.

Maka jika suatu hari kalian berjalan di Kandangan, jangan lupa kirimkan doa pada sang galuh pejuang ini. Karena berkat darah-darah seperti Aluh Idut, kita bisa menikmati hari-hari dengan damai seperti sekarang. Terima kasih, Aluh Idut. Tanah Banjar bangga padamu.

Baca Juga:

Mengenal Abdul Hafiz Anshari, Mantan Ketua KPU dan MUI

 

0 Response to "Aluh Idut, Sang Galuh Pejuang dari Kandangan"

Post a Comment