Bagandang Nyiru

Bagandang Nyiru



Halo sobat Pustaka, Pernahkah kamu membayangkan bagaimana masyarakat Banjar di masa lalu—dan sebagian masih dilakukan sampai sekarang—mencari anak hilang bukan hanya dengan senter dan panggilan panik, tetapi dengan iringan suara tabuhan nyiru dan doa yang menggema di sepanjang kampung? Tradisi ini disebut bagandang nyiru, sebuah kearifan lokal yang penuh makna, mistik, sekaligus menyimpan nilai kebersamaan yang luar biasa.

Bagi orang Banjar, bagandang nyiru bukan hanya perkara mencari anak yang belum pulang saat senja menjelang malam. Lebih dari itu, ini adalah warisan budaya yang menyatukan logika, rasa, dan spiritualitas. Dikisahkan, jika seorang anak tidak pulang setelah bermain, dan pencarian biasa tak membuahkan hasil, masyarakat Banjar percaya bahwa sang anak kemungkinan “disembunyikan” oleh makhluk halus—bukan diculik, bukan pula lari, melainkan tertutup oleh dunia gaib. Di sinilah peran bagandang nyiru muncul.

Seperti namanya, tradisi ini melibatkan "nyiru", alat dapur berbentuk bundar dari anyaman rotan yang biasa digunakan untuk menampi beras. Namun dalam prosesi ini, nyiru tidak dipakai untuk memisahkan sekam dari beras, melainkan dipukul-pukul layaknya genderang darurat. Bunyi ritmis yang dihasilkan dari nyiru yang ditabuh ramai-ramai sambil menyebut-nyebut nama anak yang hilang dipercaya bisa membuat makhluk halus yang menyembunyikan sang anak merasa terganggu. Katanya, mereka tak tahan dengan kegaduhan itu, lalu pergi—dan seketika, dunia nyata dan dunia gaib kembali terbuka. Anak yang tadi tak terlihat, bisa saja tiba-tiba ditemukan duduk kebingungan di bawah pohon, di pinggir sungai, bahkan tidur lelap di semak ilalang.

Secara sosial, tradisi ini juga memperlihatkan semangat gotong royong masyarakat Banjar. Dalam kondisi cemas, mereka tidak membiarkan satu keluarga berduka sendiri. Tetangga, keluarga jauh, dan bahkan orang-orang yang tidak terlalu kenal pun akan bergabung dalam prosesi bagandang nyiru. Kadang malam sudah larut, tapi suara ketukan nyiru terus bergema, menyusuri gang dan jalan kampung. Ada kekuatan spiritual, sekaligus kekuatan sosial, yang bertemu dalam tradisi ini.

Baca Juga:

Makan Batalam Bakipas Pangeran, Tradisi Kebersamaan di Tabalong

Sobat pustaka, meski zaman telah berganti, dan kini pencarian anak hilang lebih sering dilakukan dengan bantuan polisi, drone, atau pengumuman media sosial, bagandang nyiru tidak serta-merta lenyap. Masih ada daerah di Kalimantan Selatan yang percaya dan menjalankan tradisi ini. Bahkan, ada pula yang mengemasnya sebagai bagian dari pertunjukan budaya, agar generasi muda tak kehilangan jejak terhadap akar tradisi mereka sendiri.

Uniknya, istilah bagandang nyiru juga telah menyusup ke dalam ungkapan sehari-hari orang Banjar. Ketika seseorang sangat dinanti-nanti tapi tak kunjung datang, mereka akan berkata, “Ah ikam ni lawas banar, sampai bagandang nyiru kami mahadangi.” Artinya, “Kamu ini lama sekali, sampai kami harus ‘bagandang nyiru’ menunggu.” Sebuah sindiran halus tapi sarat humor khas Banjar.

Dari sini kita belajar bahwa bahasa dan budaya memiliki keterkaitan yang erat. Bagandang nyiru bukan sekadar aksi fisik memukul-mukul alat dapur. Ia adalah simbol dari kerinduan, harapan, dan upaya manusia untuk tidak menyerah terhadap keadaan. Ia adalah bentuk lain dari doa yang disampaikan lewat suara, gerakan, dan kebersamaan.

Tradisi seperti ini patut untuk dilestarikan—bukan karena kita masih harus mencarinya dalam gelap dengan nyiru di tangan, tetapi karena ia menyimpan nilai-nilai luhur yang bisa kita bawa ke masa depan. Solidaritas, perhatian terhadap sesama, dan keyakinan bahwa segala sesuatu bisa ditemukan kembali jika kita mencarinya bersama-sama.

Jadi, sobat pustaka, kalau nanti kalian berkunjung ke pedalaman Banua dan malam tiba-tiba terdengar suara pukulan nyiru beriringan dengan seruan nama seseorang, jangan takut. Mungkin, itu bukan hanya soal anak hilang. Tapi juga tentang bagaimana satu kampung tetap menjaga jalinan kasih dan harapan, agar siapa pun yang terpisah bisa kembali ke pelukan rumahnya.

Baca Juga:

Ratu Zaleha, Sang Ratu Perang Melawan Penjajah Belanda

0 Response to "Bagandang Nyiru"

Post a Comment