Kontroversi Ajaran Wujudiyyah Datu Abulung

 Kontroversi Ajaran Wujudiyyah Datu Abulung


Syekh Abdul Hamid Al-Banjari, yang lebih dikenal sebagai Datu Abulung, adalah salah satu ulama Banjar yang sangat berpengaruh pada masanya. Ajaran beliau, terutama paham Wahdatul Wujud, sempat menggemparkan Kalimantan dan meninggalkan jejak kontroversial yang panjang.

Datu Abulung dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf. Pada masanya, ia menjadi sosok yang disegani sekaligus kontroversial karena ajaran Wahdatul Wujud yang ia sebarkan. Pandangan ini dipengaruhi oleh aliran ittiihad Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj, yang menyatakan bahwa tidak ada wujud kecuali Allah. Pandangan ini masuk ke Indonesia melalui tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, dan Syekh Siti Jenar.

Pada masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Datu Abulung dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diberangkatkan ke Makkah oleh Kesultanan Banjar untuk menuntut ilmu agama. Kedua ulama ini mendapatkan pendidikan agama yang mendalam di Tanah Suci. Sepulang dari Mekkah, Datu Abulung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang didapat dari para gurunya. Namun, berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih konservatif, Datu Abulung menyebarkan ajaran yang lebih radikal dan filosofis.

Baca juga:

Mengenal Guru Syairazi Ulama dari Kandangan

Pada abad ke-18, Kalimantan Selatan menyaksikan kemunculan tiga ulama besar yang sangat berpengaruh: Syekh Abdul Hamid (Datu Abulung), Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan), dan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein (Datu Nafis). Ketiganya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran keagamaan di wilayah tersebut.

Ajaran Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Datu Abulung mulai mendapatkan penolakan ketika tersiar kabar bahwa ajarannya meresahkan masyarakat. Sultan Tahmidillah dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menilai ajaran tersebut berbahaya dan merusak akidah. Syekh Muhammad Arsyad, yang saat itu menjabat sebagai mufti besar, bahkan menganggap ajaran Datu Abulung sebagai bentuk kemusyrikan.

Penolakan terhadap ajaran Datu Abulung mencapai puncaknya ketika Sultan Tahmidillah memutuskan untuk menghukum mati Datu Abulung. Keputusan ini didasarkan atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad. Eksekusi dilakukan oleh para algojo Kesultanan Banjar, dan Datu Abulung dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.

Baca juga:

Mengenal Pangeran Muhammad Noor, Bapak Bangsa Asal Kalimantan Selatan

Sebagai bentuk penyesalan dan penebusan dosa, Sultan Tahmidullah II, yang memerintah periode 1761-1801, membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung. Masjid ini didirikan untuk mengenang jasa Datu Abulung dan sebagai tanda bahwa meskipun ajarannya kontroversial, pengaruh dan warisannya tetap dihormati.

Syekh Abdul Hamid Abulung dinilai kering karya karena tidak banyak meninggalkan kitab karangan seperti ulama-ulama lainnya. Namun, beberapa fragmen pandangan tasawufnya masih bisa dilacak, terutama mengenai "Asal Kejadian Nur Muhammad". Meskipun demikian, tidak diketahui pasti siapa yang menulis karya tersebut di Kalimantan Selatan.

Ajaran dan pandangan Datu Abulung tetap menjadi bagian penting dari sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan. Meskipun kontroversial, kontribusi beliau dalam menyebarkan ajaran tasawuf dan pemikiran filosofis tetap diakui dan dihargai. Warisan Datu Abulung mengajarkan kita tentang kompleksitas pemikiran keagamaan dan pentingnya toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan.

Baca juga:

Menelusuri Jejak Spiritual Datu Suban di Kalimantan Selatan



0 Response to "Kontroversi Ajaran Wujudiyyah Datu Abulung"

Post a Comment