Mengenal Idham Chalid, Sang Politikus dan Pejuang Agama dari Kalimantan Selatan
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1921 di Satui, Tanah Laut Kalimantan Selatan. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H Muhammad Chalid, adalah seorang penghulu asal Amuntai, sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin. Pada usia enam tahun, keluarga Idham pindah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Sejak kecil, Idham menunjukkan kecerdasan dan minat yang besar terhadap agama dan pendidikan. Pendidikan dasar hingga menengahnya ditempuh di Kalimantan Selatan sebelum ia melanjutkan pendidikan tinggi di Jakarta. Kecintaan Idham terhadap ilmu pengetahuan dan agama Islam mengantarkannya menjadi salah satu tokoh penting di Indonesia, baik dalam bidang politik maupun keagamaan.
Karier Idham Chalid mulai menanjak sejak masa remajanya ketika ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun 1950, ketika NU masih bergabung dengan Masyumi, Idham menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang Kalimantan Selatan. Pada saat yang sama, ia juga terpilih sebagai anggota DPR RIS (1949-1950), menandai awal karier politiknya di tingkat nasional.
Baca Juga:
Mengenal Gusti Muhammad Hatta, Orang Banjar Yang Cinta Lingkungan
Pada tahun 1952, Idham Chalid terpilih sebagai Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU, sebuah posisi yang memungkinkannya untuk berkontribusi lebih besar dalam bidang pendidikan Islam. Kariernya di NU semakin gemilang ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1956. Saat itu, Idham baru berusia 34 tahun, menjadikannya salah satu ketua termuda dalam sejarah organisasi tersebut. Jabatan ini dipegangnya selama 28 tahun, hingga tahun 1984, menjadikannya pemimpin terlama dalam sejarah PBNU.
Kepemimpinan Idham Chalid di NU berlangsung lebih dari tiga dekade, suatu periode yang penuh dengan tantangan dan perubahan besar di Indonesia. Selama masa kepemimpinannya, Idham berhasil mengarahkan NU melalui berbagai perubahan politik dan sosial di Indonesia. Ia memainkan peran penting dalam memisahkan NU dari Masyumi pada tahun 1952, yang kemudian memperkuat posisi NU sebagai organisasi keagamaan dan politik independen.
Di bawah kepemimpinannya, NU semakin terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Idham juga memfokuskan perhatian pada pemberdayaan umat Islam di pedesaan, meningkatkan akses pendidikan, dan mempromosikan nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif.
Baca Juga:
Mengenal Abdul Hafiz Anshari, Mantan Ketua KPU dan MUI
Idham Chalid tidak hanya dikenal sebagai pemimpin NU, tetapi juga sebagai salah satu politikus paling berpengaruh di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Dalam peran ini, Idham terlibat dalam berbagai kebijakan penting yang mempengaruhi pembangunan nasional.
Setelah kejatuhan Soekarno pada tahun 1966, Idham diangkat sebagai Menteri Utama bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I dan kemudian sebagai Menteri Negara Kesejahteraan dalam Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR/DPR pada periode 1972-1977 dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Selama masa kepemimpinannya, Idham Chalid mengalami berbagai pasang surut dalam dunia politik Indonesia. Namun, ia selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan umat Islam. Dalam berbagai posisi yang diembannya, Idham selalu berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Baca Juga:
Idham Chalid juga dikenal sebagai seorang diplomat ulung yang mampu menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Ia sering diundang untuk berbicara di berbagai forum internasional, memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran.
Setelah meninggal dunia pada 11 Juli 2010 di Jakarta, Idham Chalid dikenang sebagai salah satu tokoh besar Indonesia. Pada tanggal 7 November 2011, melalui Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh lainnya. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.
Idham Chalid menjadi putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Pengakuan ini menegaskan betapa besar kontribusi Idham dalam sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan membangun kehidupan berbangsa yang lebih baik.
Warisan Idham Chalid terus hidup melalui berbagai karya dan pengaruhnya dalam politik dan keagamaan di Indonesia. Sebagai seorang pemimpin NU yang berpengaruh, Idham meninggalkan jejak yang mendalam dalam organisasi tersebut. Kebijakannya yang moderat dan inklusif membantu NU berkembang menjadi salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan politik.
Baca Juga:
Mengenal Sosok Guru Muda Haji Ahmad Barmawi Kulur
Dalam dunia politik, Idham Chalid dikenang sebagai seorang politikus yang berintegritas tinggi dan berdedikasi pada pelayanan publik. Kepemimpinannya yang visioner dan penuh dedikasi menginspirasi banyak generasi penerus untuk terus berjuang demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Sebagai seorang tokoh yang telah melalui berbagai periode penting dalam sejarah Indonesia, dari masa kolonial hingga era reformasi, Idham Chalid memberikan pelajaran berharga tentang kepemimpinan yang berbasis nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Ia menunjukkan bahwa dengan tekad, dedikasi, dan prinsip yang kuat, seorang pemimpin dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan bangsanya.
Baca Juga:
Mengenal Guru Syairazi Ulama dari Kandangan
0 Response to "Mengenal Idham Chalid, Sang Politikus dan Pejuang Agama dari Kalimantan Selatan"
Post a Comment